Inilah yang membedakan saya dengan liyan, dengan orang lain yang bukan bangsa Indonesia. Pengakuan itulah yang memberikan identitas hakiki kepada saya, seorang perempuan Indonesia, yang tinggal di negeri orang.
Tetapi, bagaimana halnya dengan orang-orang lain, yang berlatar belakang sama, yang tinggal di negeri ini? Bagaimana halnya orang yang bukan lagi warga negara Indonesia? Bagaimana halnya bagi orang yang tercerabut dari Tanah Air seperti para eksil dari Papua, eksil dan penyintas peristiwa September 1965? Apakah mereka juga masih berbangsa Indonesia?
Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Ketika Kongres Pemuda II itu diselenggarakan, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan dan lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan, tak seorang pun yang hadir dapat mengatakan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia! Tak seorang pun memiliki paspor Republik Indonesia, karena semuanya, tanpa kecuali, merupakan warga kelas dua Hindia-Belanda!
Sumpah Pemuda tidak berbicara mengenai kewarganegaraan. Kebangsaan, keindonesiaan, identitas jati diri yang hakiki, datang dari hati dan tidak dapat dipaksakan datang atau pun pergi karena ada atau tidak adanya secarik kertas!
Dengan lantang dan tegas, saya katakan:
Saya, putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia;
Saya, putri, Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia;
Saya, putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Saya berbangga hati mengikrarkannya.***
*) Lulusan antropologi UI, dan melanjutkan studi di Universitas Leiden Belanda.