Penulis: Sita Aulliya
Kabarbelanda.com – “Pak tua sudahlah. Engkau sudah terlihat lelah, oyaa. Pak tua sudahlah. Kami mampu untuk bekerja, oyaa.”
Anda yang anak gaul tahun 1990-an tentu tak asing lagi dengan lagu ini. Lagu “Pak Tua” dari grup band Elpamas yang bergenre rock itu menempati posisi teratas tangga lagu Indonesia di era 1990-an.
Elpamas, yang sudah menelurkan lima album; Untukmu Generasiku (1989), Tato (1991), Bos – Makan Apa? (1993), Negeriku (1997), Dongeng (2000) dan 60Km/Jam (2003), lagu-lagunya banyak di-request pendengar radio-radio siaran kala itu.
Meski dalam perjalanan bermusiknya sering dilanda pergantian vokalis, tapi hingga kini Elpamas masih tetap menunjukkan soliditas dan eksistensinya sebagai salah satu grup rock papan atas Indonesia.

Salah satu personil Elpamas adalah Didik Sucahyo, pemain bas. Lelaki kelahiran Pasuruan 10 Januari 1962 yang kini tinggal di Belanda itu belajar memainkan gitar secara otodidak sejak SMP.
Awalnya, Didik menjadi pemain bas pada grup band sekolah dan band di kampungnya. Ketika duduk di bangku SMA, Didik mulai bermain secara profesional dan mendapatkan honor setiap manggung.
Ia juga menjadi pemain bas di band-band yang biasa menghibur di acara pesta dan hajatan dengan membawakan lagu-lagu pop.
Awal karir profesionalnya, diawali saat menginjak usia remaja. Saat itu Didik mulai mencari jati diri dalam bermusik.
Bersama kawan-kawannya, Didik membentuk band yang sesuai dengan selera musiknya.
Ia pun membentuk grup band Young Forc, kemudian Elvira di Malang, pada 1980an.
Pada 1983, Didik kemudian bergabung dengan Elpamas. Nama Elpamas awalnya singkatan dari Elektronik Payung Mas, nama sebuah toko elektronik milik Anthony Depamas yang menyuplai peralatan band bagi personil Elpamas.
Elpamas kemudian diplesetkan ke dalam Bahasa Jawa, yaitu Elek-elek Pandaan, Mas (Jelek-jelek juga Pandaan, Mas), karena band ini berasal dari Pandaan, Pasuruan Jatim.

Berawal dari musik Dangdut
Awal terbentuk tahun 1983, Elpamas tidak langsung mengusung musik rock. Lewat panggung-panggung tingkat RT, mereka menghibur masyarakat dari kampung ke kampung lewat musik dangdut.
Pada 1984, menjelang festival musik rock Log Zhelebour di Surabaya, mereka mendadak ganti haluan menjadi grup band rock.
Elpamas mulai memperlihatkan talentanya sebagai grup band rock yang layak diperhitungkan, setelah merebut gelar Juara III di Festival Rock se-Indonesia pada 1984 itu.
Elpamas yang waktu itu beranggotakan Dollah Gowi (vokal), Toto Towel (gitar), Didiek Sucahyo (bas), Edi Daromi (keyboard), Rushtato (drum), mampu merebut predikat Juara I selama dua kali berturut-turut, yaitu pada 1985 dan 1986. Bahkan Toto Towel mengantongi gelar sebagai gitaris terbaik.
Kemudian Elpamas mendapat kontrak tour Jawa-Sumatera pada 1986 sampai 1988.
Karier Elpamas kemudian terasah dengan seringnya tampil di pentas-pentas musik besar, antara lain mendampingi Godbless pada Tour Raksasa Gudang Garam tahun 1989.
Pada 1989, Elpamas mendapat kontrak rekaman dari produser musik rock Log Zhelebour.
Mengusung aliran rock, album perdana Elpamas “Dinding-Dinding Kota” masih belum mendapat tempat di hati penggemar musik cadas indonesia.
Namun pada tahun yang sama, “Pak Tua”, yang menjadi album kedua, malah “meledak” di blantika musik Tanah Air.

Pindah ke Belanda
Saat karirnya sebagai musisi sedang melambung, Didik Elpamas harus membuat keputusan besar dalam hidupnya.
Seiring dengan Reformasi 1998, Didik memutuskan pindah dan menetap di negara asal istrinya, Belanda.
Usai merilis album Dongeng, ia hijrah dan menetap di Belanda hingga kini.
Di Belanda, sesuai dengan profesinya sebagai musisi, Didik terus menekuni bidang musik untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Memboyong istri dan dua anak lelakinya yang lahir di Jakarta, Didik bertekad untuk memulai hidup baru di negeri orang.
Kendala hidup di Belanda
Didik dan keluarganya tinggal di kota Alphen aan den Rijn. Kehidupan baru di negeri asing tentu tidak mudah ia jalani.
Kendala bahasa, cuaca yang jauh lebih dingin dari Malang, dan perbedaan kultur menjadi tantangan yang harus ia taklukkan.
Di sana Didik berhasil mendapatkan pekerjaan pertamanya di sebuah perusahaan recycling komputer.
Karena jiwa bermusiknya masih terus menyala, band-band amatirpun didekatinya sambil mencari partner bermusik yang pas.

Bertemu band profesional
Pada 2001, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebuah group band profesional Belanda sedang mencari seorang pemain. Dari tiga orang yang melamar dan dites, Didik kemudian diterima.
Bersama The Raspers, nama grup itu, Didik memulai lagi debut karirnya.
Mengusung musik aliran 1970an, The Raspers menjadi bintang panggung untuk acara pesta perusahaan-perusahaan besar.
Bahkan masuk ke kalangan birokrat Belanda. Salah satunya, pesta yang digelar politikus Rita Ver Dong di Den Haag.
Buka sekolah musik
Pada 2005 setelah mundur dari perusahaan tempatnya bekerja, Didik mulai membuka sekolah musik.
Diawali dengan memberikan les privat gitar dan bas, usahanya semakin besar dan berkibar di samping kesibukannya sebagai anggota The Raspers.
Pengalaman bermusik yang sudah matang, memudahkan Didik untuk beradaptasi dengan semua orang.
Menurut Didik musisi Indonesia sangat intuitif dan musikalitasnya tinggi. Beda pola dengan musisi Belanda yang berpegang pada pakem dan mengikuti jalur.
Pada 2007 ia pernah sepanggung dengan Mariska Veres dan Shocking Blue.
Pada 2019, The Raspers berhasil menembus panggung bergengsi, yaitu Park Pop di Den Haag, yang menjadi saksi perjalanan musisi anak negeri.
Bagaimana caranya beradaptasi sebagai seorang anggota band? Didik memberikan resep.
“Sebuah band harus kompak. Ketika masuk ke dalam band akan lain. Ego benar-benar harus dikendalikan,” tuturnya melalui sambungan telepon kepada Kabar Belanda.
Hobi yang jadi pekerjaan
Seiring dengan berkembangnya sekolah musiknya, kesibukan Didik pun semakin padat.
Namun lelaki yang berpembawaan kalem itu tetap menikmatinya karena musik sudah menjadi hobinya sekaligus dunianya.
Kepada anak didiknya, dia selalu menekankan bahwa bermusik itu harus asik dan harus saling menikmati antara pemain dan penonton. Sehingga bisa menjadi pertunjukan yang menyenangkan.
Didik berharap, dengan banyaknya grup band Indonesia yang ada di Belanda, mereka juga bisa maju dan berkembang di negeri orang.
“Kalau ada band yang bagus, harus mendaftar ke agen musik di Belanda, yaitu melalui Band Zoeker,” tutupnya.
threexvideo.com
https://www.masturporn.com/
https://www.doornight.com/