Penulis: Imran Hasibuan *)
SEPANJANG paruh pertama abad ke-20, Bataviaasch Nieuwsblad merupakan salah satu surat-kabar berbahasa Belanda terkemuka di Hindia-Belanda. Koran yang didirikan P.A. Daum pada 1885 itu, dikenal sebagai sarang kaum Indis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bahkan koran tersebut bersimpati kepada Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Surat kabar inilah yang pertama kali memberitakan pendirian Boedi Oetomo di Yogyakarta, pada 20 Mei 1908.
Di masa kejayaan itu, Bataviaasch Nieuwsblad dipimpin dua sahabat yang berasal dari kaum Indis, yaitu Frans Hendrik Karel Zaalberg sebagai Pemimpin Redaksi, dan Ernest Douwes Dekker (EDD) yang menjabat Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur Utama. Di bawah kepemimpinan Zaalberg dan EDD, koran ini sukses meraih pembaca, terutama dari kalangan Indis.

Perlu dipahami, di awal abad ke-20, kaum Indis sedang mengalami marjinalisasi yang masif dalam ranah sosial-politik. Bisa dibilang, inilah masa-masa tersulit bagi kaum Indis Hindia Belanda. Kaum Indis di Hindia-Belanda mayoritas bekerja di pemerintahan, tapi sebagai pegawai menengah dan rendah. Hanya segelintir yang menjadi pejabat tinggi. Sebagian lagi bekerja di dunia profesional (jurnalis, periklanan, artis, dan lain-lain).
Secara administratif, kaum Indis memang digolongkan sederajat dengan kaum Eropa/Belanda. Tapi, sejak kedatangan banyak kaum perempuan Belanda ke tanah koloni di awal abad ke-20, posisi sosial kaum Indis semakin terpinggirkan. Para pria Eropa di Hindia-Belanda jadi memiliki banyak pilihan untuk menikah dengan perempuan Belanda. Perkawinan pria Eropa dengan wanita pribumi (dikenal dengan sebutan Nyai) yang di abad ke-19 dianggap sebagai kelaziman, kemudian dinilai sebagai kenistaan. Komunitas Eropa pun menjadi makin ekslusif, tak lagi banyak berbaur dengan kalangan Indis, Tionghoa, dan pribumi.
Di sisi lain, kalangan priyayi pribumi berpendidikan juga makin tumbuh. Mereka ini, yang lebih banyak jumlahnya dan mau digaji lebih murah, lebih menjadi pilihan untuk mengisi jabatan-jabatan menengah-bawah di jajaran pemerintahan kolonial. Akibatnya, banyak pekerja Indis— yang mengisi jabatan menengah-bawah di pemerintahan kolonial— kehilangan pekerjaan mereka. Situasi ini tentu saja meresahkan kebanyakan kaum Indis. Keresahan inilah yang ditampung, lantas disuarakan Bataviaasch Nieuwsblad.

Zaalberg (1873-1928) lahir di Batavia dari keluarga kelas menengah. Darah Indis didapat dari ibunya, Susanna Elisabeth de Bie. Sedangkan ayahnya, Pieter Jacobus Adrianus Zaalberg, seorang Belanda totok yang bekerja sebagai sekretaris di Departemen Pendidikan dan Urusan Agama Hindia Belanda. Zaalberg bergabung dengan Bataviaasch Nieuwsblad sejak masih dipimpin P.A. Daum. Selain sebagai jurnalis, Zaalberg juga aktivis kaum Indis. Di tahun 1898, ia mendirikan “Indisch Bond”, organisasi kaum Indis pertama di Hindia-Belanda, dan menjadi ketuanya. Tapi, karena darah Indisnya, baru menduduki jabatan Pemimpin Redaksi Bataviaasch Nieuwsblad pada 1908.
Begitu menjabat pemimpin redaksi, Zaalberg segera mengangkat EDD sebagai wakil pemimpin redaksi/redaktur utama. Saat itu, Ernest Douwes Dekker (lahir di Pasuruan tahun 1879) sudah dikenal sebagai aktivis dan juru-bicara kaum Indis yang kritis. Praktis semua urusan redaksional Bataviaasch Nieuwsblad ditangani EDD. Kebijakan redaksional dan warna pemberitaan koran inipun menjadi lebih progresif daripada sebelumnya.
Bertahun-tahun kerja sama kedua sahabat ini terjalin baik. Zaalberg mempercayakan sepenuhnya urusan redaksional kepada EDD. Sampai ketika EDD membentuk Indisch Partij (bersama Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat) di tahun 1912, keretakan mulai terjadi. Mirjam Maters dalam buku Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras (Hasta Mitra, 2003) menulis: “Persahabatan erat yang terjalin antara Douwes Dekker dan Zaalberg pada akhir tahun 1912 itu berbalik 180 derajat. Zaalberg menganggap pendirian Indisch Partij sebagai gerakan ‘tak bermanfaat dan demagogis’ yang tidak mendatangkan kebaikan pada cita-cita kaum Indo-Eropa”.

Mendapat tentangan itu, EDD hengkang dari Bataviassch Nieuwsblad. Ia kemudian mendirikan korannya sendiri, De Expres, yang mengusung kebijakan redaksional progresif-radikal. De Expres juga menjadi organ Indisch Partij. Di tahun 1913, De Expres dibredel karena dalam edisi 13 Juli menampilkan artikel, tepatnya pamflet, dalam bahasa Belanda berjudul Als Ik Send Nederland Was… (Andai Aku Seorang Belanda…). Pamflet bernada satire karangan Suwardi Surjaningrat itu berisi kritik tajam atas himbauan pemerintah kolonial supaya orang-orang Indonesia menyumbangkan uang untuk ikut membiayai perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, lepas dari penjajahan Prancis. Buntutnya, “Tiga Serangkai” (EDD, Tjipto, dan Suwardi) dibuang ke Belanda.
Zaalberg meneruskan Bataviaasch Nieuwsblad dengan garis kebijakan redaksional yang lebih moderat. Di tahun 1919, ia mendirikan dan memimpin Indo-Europess Verbond (IEV)—organisasi kaum Indis Hindia Belanda yang berhasil menghimpun ribuan anggota. Zaalberg meninggal dunia di tahun 1928, di tengah maraknya pergerakan kebangsaan Indonesia. ***
*) Mantan wartawan.Kini produser film layar lebar Ali Sadikin The Movie.
Editor: Tian Arief