Sumpah Pemuda, Indonesia dan Keindonesiaan

Penulis: Frieda Amran *)

SELAMAT pagi, Belanda! Selamat siang, Indonesia! Salam sejahtera untuk ibu-ibu, bapak-bapak, handai dan taulan yang menyempatkan diri untuk hadir di sini.

Nama saya Frieda Amran. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang memilih untuk pindah dan tinggal menetap di negeri Belanda, demi cinta. Kini, hampir separuh umur saya sudah dihabiskan di negeri mantan penjajah Indonesia ini.

Beberapa waktu lalu, ketika Ine Waworuntu dari Stichting Hibiscus meminta saya berbagi cerita dalam sebuah webinar, saya terdiam sejenak.

Sumpah Pemuda? Memang, setiap 28 Oktober, di mana pun saya berada, saya selalu teringat peristiwa itu. Tetapi, apa sebenarnya makna Sumpah Pemuda bagi saya?

Naskah Sumpah Pemuda, dalam ejaan lama. (kompasiana.com)

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak anda sekalian kembali ke masa lalu. Sembilan puluh tiga tahun lalu, ketika itu Jakarta masih disebut Batavia. Pada tahun 1928, Belanda sudah ‘berkenan’ membuka kesempatan bagi para ‘inlanders’ atau pribumi untuk menempuh pendidikan tinggi.

Di Batavia sudah ada STOVIA yang merupakan singkatan dari School Tot Opleiding van Indische Aartsen. Juga sudah ada Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) dan Sekolah Tinggi Botani di Batavia. Ketiga centers of excellence itu terdapat di daerah segitiga di antara Prapatan, Cikini dan Salemba. 

Maka tak mengherankan jika para mahasiswa, yang kebanyakan datang dari luar Batavia, bahkan juga dari luar Jawa, banyak mencari tempat tinggal (indekos) di rumah-rumah warga di sekitar jalan itu.

Rumah di Jalan Kramat Raya 106 merupakan rumah indekos yang paling disukai. Pada tahun 1928, rumah di Jalan Kramat Raya itu tidak akan menarik perhatian orang karena sama sekali tidak tampak istimewa.

Rumah kost di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. (radarcirebon.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :