Mencicipi Sajian Langka Nusantara di Negeri Pizza

Penulis: Rieska Wulandari

Treviso, Italia , Kabarbelanda.com – Pernahkah Anda mencicipi fermentasi durian atau tempoyak yang dibumbui kunyit dan dipadukan dengan irisan gurita? Atau mencoba makanan khas Belitung berupa sup gangan cumi yang dipadu dengan mie sagu?

Itulah sebagian sajian istimewa yang ditampilkan Chef Ragil Wibowo dalam kolaborasinya dengan Chef Marco Feltrin, pengusaha sekaligus koki restoran Feria di Treviso, Italia. Feria adalah restoran Indonesia berkelas yang masuk dalam panduan Michelin.

Saya merasa beruntung diundang ke acara yang digelar untuk memperingati 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Italia.

Dalam acara ini, KBRI Roma memprakarsai perjalanan gastronomi luar biasa, memperkenalkan menu tradisional dari Aceh hingga Papua dalam 10 hidangan terpisah.

Ini adalah pengalaman pertama saya mencicipi masakan Halmahera dan Toba, yang disajikan dengan sentuhan kelas dunia.

Dan, malam itu untuk merayakan perpaduan tradisi kuliner Indonesia dan Italia, kedua chef mengumpulkan resep mulai dari Aceh sampai Papua, yang disajikan dalam 10 menu terpisah, untuk dinikmati oleh tamu undangan.

Chef Ragil dan Chef Marco mengumpulkan resep mulai dari Aceh sampai Papua khusus untuk merayakan perpaduan tradisi kuliner Indonesia dan Italia,

Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan Italia dikenal sebagai negara tepi pantai Mediterania yang memiliki kekayaan laut yang segar, uniknya, meski Treviso berlokasi sekitar 40 menit dari tepian laut Venezia (Venice) namun demikian ketersediaan makanan lautnya cukup variatif dan jaminan kesegarannya sangat purna, sama segarnya dengan kota-kota yang terletak 0 km dari tepi pantai.

Memang demikianlah Italia, pada kota-kota yang terletak jauh dari pantai, tidak berarti kawasan itu kekurangan sumber protein laut yang segar.

Chef Ragil yang bekerja sama dengan Istrinya dengan membangun Nusa, Indonesian Gastronomy Foundation, memang secara khusus mengabdikan diri pada pencarian dan pelestarian resep-resep nusantara yang hampir punah.

Maka jangan heran apabila menu-menu pilihan yang disajikan kepada para tamu juga merupakan presentasi singkat dari Chef Ragil dalam proyek penelitian inovatifnya.

“Tujunnya adalah untuk merevitalisasi resep makanan Indonesia yang hampir punah, ini merupakan penghormatan kami terhadap kekayaan keragaman dan warisan masakan Indonesia,” demikian Meilati Batubara, Ecexutive Director Nusa yang juga istri dari Chef Ragil, menyampaikan makna dari 10 sajian yang akan ditampilkan malam itu.

Sebelum menikmati sajian menu yang membuat saya penasaran, Wakil Duta Besar KBRI Roma, Tika Wihanasari, dihadapan para tamu menyampaikan bahwa masakan Indonesia sangat penting untuk ada dan hadir di Italia.

Clam Noorhosori, Tiram dan Sagu Bakar Ala Papua, paduan tiram yang diselimuti sagu dan kelapa parut yang dipanggang, rasanya seperti buaian tepi pantai Raja Ampat.

“Budaya Italia kebanyakan seputar makanan, mereka sangat menyukai makanannya. Jadi kalau makanan Indonesia bisa dikenali oleh orang Italia, itu satu hal,” ujarnya.

Restoran Feria juga bukan “restoran kaleng-kaleng”, sebagai restoran yang terinspirasi dari masakan Indonesia dan dibuka sejak tahun 2020, ia dianggap sangat istimewa karena berhasil terdaftar dalam guide restoran Michelin juga disebut sebagai 500 restoran terbaik di Italia.

Layaknya makan di restoran berkelas, tentu sebelum menu disajikan, seorang Capo sala atau manajer ruangan, akan menerangkan nama menu, material dan bumbu, sejarah serta cara memasak makanan tersebut.

Para tamu, yang datang ke restoran berkelas, kebanyakan memang mereka yang sangat menghargai dan mencintai proses kuliner, sehingga mereka akan menyimak dengan seksama, setiap penjelasan Capo sala, sambil sesekali mengecap sajian champagne yang mereka pesan untuk menemani menu pembuka dan dilanjutkan dengan wine putih untuk menemani sajian seafood saat menikmati menu utama.

Sajian pembuka pertama berupa “Udang Gohu,” resep ini berasal dari Halmahera. Sebagai konsep makanan pembuka atau insalata, Chef Ragil memadukan udang segar segar mentah dengan jeruk bernuansa pedas , yang terbuat dari bumbu aromatik.

Hasilnya, sebuah sapaan dengan ledakan rasa yang meriah di mulut. Pedas? Tidak sama sekali! Lezat dan segar dari udang, jeruk, aroma bumbu dan percikan cabai sungguh mempesona.

Selanjutnya adalah “Clam Noorhosori,” sebuah resep asal Papua, masih berperan sebagai menu pembuka, yang disajikan dari paduan tiram yang diselimuti sagu dan kelapa parut yang dipanggang. Rasanya? Seperti berada di tepi pantai Raja Ampat. Sebuah buaian dari tepi pantai yang indah menyenangkan.

Lalu, saya diajak pulang kampung, tepatnya ke Jawa Barat dimana sajian selanjutnya berupa “Oyster with sambal kecombrang,” ya siapa lagi kalau bukan orang tepi pantai Jawa Barat yang sangat doyan makan kecombrang atau bunga tanaman jahe ini.

Aduh, kenikmatan kerang segar, yang ditaburi cabai dan potongan halus kembang kecombrang, benar benar representasi sebuah kesegaran alami laut-laut selatan Jawa Barat yang masih perawan!

Oyster with Sambal Kecombrang, kerang segar dengan kecombrang, menelanjangi pantai perawan di Jawa Barat. Asli ini enak banget!

Sebelum memasuki menu utama, saya ingin menyampaikan, kenapa pemilik restoran yaitu Marco Feltrin – yang juga pernah menjadi koki di hotel ternama Mulia Jakarta selama tiga tahun, berkutat dengan makanan Indonesia di sebuah kota yang berlokasi jauh di bagian utara Italia.

“Restoran kami sangat terinspirasi oleh makanan, rempah-rempah, dan budaya Indonesia. Saya dulu bekerja di Hotel Mulia jakarta selama 3 tahun dan istri saya, ibu sriyanti adalah orang Indonesia, jadi saya punya banyak pengaruh bahkan di rumah di Italia, untuk makanan Indonesia,” ujarnya.

Namun demikian, Marco yang memiliki keahlian memasak dan memahami standar rasa lidah Italia, justru mencoba melakukan sesuatu yang berbeda, yaitu sengaja mengambil segmen kelas atas sebagai cara mereka mendekati publik Italia utara.

Sebagai gambaran, Italia memang terbagi dalam karakter utara selatan, dimana secara stereotip, karakter penduduk Italia utara diatas Venezia, dikenal “snobish” bahkan bagi penduduk Italia utara sekalipun. Maka, mendekati lapisan snob dengan menu Indonesia yang sophisticated adalah “satu-satunya jembatan”.

“Makanan Italia sangat populer, makanan Indonesia masih harus berkembang. Itu adalah misi kami,” ujar Marco yang selalu tampak rendah hati. Sangat mengharukan.

Sementara memasuki rangkaian menu soup dan mie, di sini keahlian Chef Ragil benar-benar ditantang. Sebab orang Italia menganggap pasta sangat sakral, dan membumbui pasta, ada “aturan non verbal” namun dipatuhi semua orang, dalam bahasa Indonesia mungkin bisa dikatakan “tata krama”-nya.

Gangan Belitung dengan sajian nanas, sup ikan segar dengan mie sagu yang menawarkan keseimbangan antara bumbu dan tekstur mie, menyajikan keindahan dan keseimbangan alam Belitung.

Untuk sajian soup, pertama muncul adalah “Gangan Seafood Soup” dari Bangka Belitung, terbuat dari sup ikan segar dengan mie sagu yang menawarkan keseimbangan antara bumbu dan tekstur mie, betul-betul menyajikan keindahan dan keseimbangan alam Belitung yang lestari pantai dan ekosistem hutan alaminya.

Comments are closed.