Selain itu, alasan lain yang tidak kalah penting adalah banyak orangtua dari perkawinan campuran “buta hukum”. Kebanyakan para orangtua ini menganggap anak-anak mereka otomatis memiliki dwi kewarganegaraan ketika dilahirkan.
Inilah yang harus terus disosialisasikan. Bahwa dwi kewarganegaraan anak tidaklah otomatis terjadi. Bagi anak-anak yang lahir dalam naungan UU No. 12/2006, asalkan memenuhi persyaratan yang ada mereka memang memiliki hak atas dwi kewarganegaraan. Beda cerita dengan anak-anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006. Mereka tidak memiliki pilihan. Semua serba rumit secara hukum negara.
Apalagi sistem hukum Indonesia menganut azas Ius Sanguinis dan Belanda, misalnya, menganut azas Ius Soli. Dua sistem Hukum yang bertolak belakang. Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara. Sedangkan Ius Soli (bahasa Latin bagi “hak untuk wilayah”) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Kita hanya bisa berharap masalah ini ada solusinya. Berharap kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, agar bisa memberikan mereka solusi dengan memberinya lagi kesempatan. Pertimbangannya adalah perikemanusiaan, yaitu masa depan anak-anak ini. Tanpa embel-embel yang lain.
Editor: Tian Arief