Kabarbelanda.com – Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas, mengatakan, setiap pasangan kawin campur antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga Belanda diharapkan lebih paham dengan aturan yang berlaku di Belanda.

Pasalnya, akibat ketidaktahuan peraturan di negeri ini, saat perkawinannya kandas, pasangan asal Indonesia terpaksa pulang ke Tanah Air sambil membawa penyesalan dan kekecewaan.
“Intinya, tidak ada pasangan yang menginginkan perkawinannya kandas di tengah jalan. Semua berharap pernikahannya mulus. Namun jika hal ini terjadi, paling tidak kita sudah tahu langkah apa yang harus diambil, bagaimana caranya, dan tahu haknya,” kata Mayerfas, saat membuka Webinar yang digelar KBRI Den Haag, Kamis (23/4/22), pukul 18.30 CET atau 23.30 WIB.
Pada Webinar bertema “Kupas Tuntas UU Perkawinan Belanda Terbaru”, itu Mayerfas menambahkan, acara seperti ini lebih baik kalau ditindaklanjuti lebih intensif, dengan fokus mencari jalan keluar.
“KBRI sangat terbuka dalam menampung segala keluhan dan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk warga Indonesia di Belanda,” ucapnya.
Webinar yang diikuti 125 peserta (dari Belanda dan luar Belanda) dan dimoderatori Yuke Mayaratih, Pemimpin Redaksi KBC News itu menghadirkan dua narasumber, yakni MR Groen dan AG Kleijweg –keduanya advokat yang berpraktik di Belanda.

Catatkan secara resmi setiap perkawinan campur
Menurut MR Groen, setiap perkawinan campur yang terjadi di Belanda, maka pasangan itu harus melaporkan atau mencatatkan perkawinan ke pemerintah Belanda.
Sedangkan jika menikah di Indonesia, catatkan perkawinan secara resmi ke lembaga pemerintah Indonesia. Kemudian dokumen perkawinan tadi dilaporkan ke pemerintah Belanda.
“Berdasarkan catatan yang sah itu, bisa diketahui apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Misalnya, jika terjadi perceraian, maka pasangan (pria) Belanda wajib memberikan elementasi (tunjangan) kepada istri dan anaknya,” tutur Groen.

Catatkan setiap kelahiran anak
Groen melanjutkan, setiap kelahiran anak dari pasangan warga Belanda, meskipun lahir di Indonesia, juga harus didaftarkan, baik di Indonesia maupun di Belanda. Karena hukum di Belanda akan mengikat kedua belah pihak.
“Anak dan pasangan (istri) di Belanda bisa mendapatkan hak-haknya menurut hukum Belanda. Misalnya biaya sekolah dan lainnya sampai ia berusia 21 tahun,” ujarnya.
Ia melihat, banyak dari pasangan warga negara Belanda yang tidak mau mendaftarkan perkawinan mereka di Belanda, karena jika terjadi perceraian konsekuensinya lebih berat. Dia harus membayar santunan sesuai hukum Belanda.
Sedangkan jika hanya tercatat di Indonesia saja, maka proses perceraian hanya menggunakan hukum Indonesia.
“Ini jelas, pasangan (biasanya perempuan) tidak akan mendapatkan apa-apa, karena proses perceraian di Indonesia tidak mewajibkan pasangan warga Belanda untuk memberikan elementasi sesuai kebutuhan hidup anak (dan istri). Melainkan hanya diberikan sekali, dan tentu saja ini tidak cukup,” paparnya.
Karena itu, Groen memberi tips, jika ingin mengajukan perceraian karena sudah tidak ada kecocokan lagi, maka ajukan cerai melalui advokat dan menggunakan hukum di Belanda. Apalagi jika memiliki anak dari pasangan warga Belanda.
Lebih jauh diungkapkan bahwa sebagai pasangan dari warga Belanda, sesungguhnya istri memiliki hak yang cukup besar atas tunjangan atau subsidi dari pemerintah Belanda.
Pasalnya, masih banyak pasangan warga Indonesia (perempuan) yang tidak menyadari bahwa ia memiliki hak yang besar sekali melalui subsidi bantuan hukum dari pemerintah Belanda. Misalnya untuk menangani kasus mendapatkan hak elementasi, meskipun ia tinggal di Indonesia.
Sebelumnya, Undang-Undang Perkawinan Belanda mengatur penyatuan harta benda (gono gini) bagi setiap pasangan menikah, kecuali ada testamen atau perjanjian sebelum menikah harta dibuat terpisah.
Tapi mulai tahun 2018, UU Perkawinan Belanda memberlakukan aturan harta terpisah. Kecuali dibuat testamen atau perjanjian penyatuan harta (getrowd in gemeenschap van goederan).

Ikuti Prosedur Integrasi dan Bekerja di Belanda
Sementara itu, advokat lainnya, AG Kleijweg mengatakan, setelah pindah ke Belanda, yang paling penting dilakukan WN Indonesia pasangan perkawinan campur adalah mengikuti Imburgering (integrasi) dan bekerja. Sehingga bisa mandiri secara keuangan. Jika kedua poin itu dilakukan, maka kita bisa mengajukan izin tinggal, tidak perlu tergantung dari pasangan.
Jika terjadi perceraian dan tidak memiliki inburgering, lanjut Kleijweg, maka pengadilan akan sulit sekali menerima kita untuk tinggal di Belanda. Pengecualian berlaku jika ada keterbatasan fisik dan mental.

Jika ada KDRT segera cari pertolongan
Kleijweg menjelaskan, jika perkawinan atau hidup bersama kurang dari 5 tahun, lalu terjadi perceraian, IND (lembaga keimigrasian Belanda) memiliki hak untuk memulangkan salah satu pasangan ke negara asal, kecuali terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Apa langkah yang harus dilakukan jika terjadi KDRT? Kleijweg secara tegas menyatakan: segera cari pertolongan! Baik melapor ke kantor polisi atau ke dokter.
“Jangan tunda sampai luka sembuh dulu (untuk divisum). Polisi Belanda akan segera bertindak jika ada kekerasan. Kontak organisasi, seperti veiligthuis,” ujar Kleijweg.
Ia menyarankan, segera datangi juridisch loket. Bisa juga ke Dutch continental legal aid, yaitu lembaga bantuan hukum yang memiliki keterkaitan dengan warga atau hukum di Belanda.
“Dan ini bisa terjadi di negara mana saja,” tutupnya.
Acara Webinar ini dimulai dan diakhiri tepat waktu. Beberapa pertanyaan dari peserta yang belum terjawab, dijanjikan narasumber akan dikirim via email, atau dijawab dalam Webinar selanjutnya.
Editor: Tian Arief