Awalnya ia mengambil makanan yang sudah matang dari Den Haag (warung makan milik kakaknya). Lalu ia menjualnya di toko Java House di Deventer. Seiring berjalannya waktu, ia mencoba memasak sendiri menu makanan dan menjualnya di Java House.
“Saat saya take over tempat ini, tak ada dapurnya. Jadi hanya etalase untuk makanan dan meja kursi untuk pengunjung. Jadi makanan kita ambil dari rumah kakak saya di Den Haag. Tapi sejak 10 tahun lalu, saya renovasi dibagian belakang menjadi dapur dan ada tempat menyimpan bahan makanan dengan suhu sedingin kulkas,” ujar Djoen.
Untuk membangun ini semua, Djoen mengajukan pinjaman ke bank dengan bunga rendah. “Saya merasa ada campur tangan Tuhan dalam usaha ini, karena saya bisa mendirikan Java House 25 tahun lalu,” tutur Djoen dengan penuh haru.
Djoen mengawali usahanya dengan menjadi karyawan di toko bernama Istimewa Baru. Di sana ia bekerja selama 3 bulan. Tanpa dia sangka, sang pemilik toko tak mau meneruskan usahanya dan akan menjualnya. Nah, sejak itu ia mulai membuka usaha dengan bendera Java House, pada 1 Oktober 1997. Sampai hari ini, usahanya selalu ramai dan pelanggannya terus bertambah.
Baik Djoen maupun Rina, keduanya kini makin mantap menjalani usaha kuliner di negeri kincir angin. Keduanya adalah srikandi Indonesia di bidang kuliner yang pantang menyerah. Mereka yakin segala sesuatu yang dimulai dengan niat baik dan dilakukan dengan tekun akan mencapai hasil yang maksimal. Dan Tuhan akan ” Selama ini saya merasakan Tuhan selalu ada dalam setiap masalah yang saya hadapi , termasuk juga dalam mengelola warung makan ini,” kata Djoen.
Sementara Rina mengatakan ia tidak kuatir dengan persaingan yang semakin ketat. Maklum, saat ini warung makanan Indonesia di Belanda makin menjamur. “Rezeki setiap orang sudah diatur. Jadi saya tidak pusing untuk mengecek kompetitor toko sebelah,” ujarnya sambil tertawa renyah.***