Selain tuntutan skill bermusik, dalam jamming yang tidak didahului sebuah proses latihan bersama itu, penting untuk memiliki inisiatif berpartisipasi dalam kebersamaan bermain, saling mendengarkan, spontanitas, dan keberanian berimprovisasi.
Sebuah repertoar musik yang sudah dikenali bisa terdengar menjadi suatu jenis musik yang baru, lain dari musik aslinya. Dan tidak jarang pula terjadi, dalam sebuah jam session, repertoar musik yang dimainkan bersambung ke repertoar berikutnya tanpa melalui komunikasi verbal. Musik itu sendiri yang menjadi alat komunikasinya.
Ketika sebuah repertoar musik sedang dimainkan, seorang pemain musik mungkin saja menyelipkan melodi atau ritme tertentu dari sebuah musik yang mengacu pada patron musik yang lain, lalu direspons oleh pemain musik lainnya. Itu menjadi sebuah komunikasi tersendiri di ranah budaya.
Bermula dari Empat Anggota
Esa Samana Studio itu bermula dari empat orang anggota, yaitu Henri Manik, Dahlan Saragih, Asa Sidabutar, dan Carlo.
“Kami main musik bersama. Ya biasa lah kayak waktu kita di Medan dulu. Nah, dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, muncul ide cari tempat sendiri untuk latihan,” ujar Carlo.
Menurutnya, sewa studio dalam kota itu sangat mahal. Itu pun waktunya dibatasi hanya 3 jam. “Sedangkan kita kalau sudah kumpul, kita tidak cuma main musik saja, tapi ada saling curhatnya,” ujar pria alumnus IKIP Medan ini, sambil tertawa.
Ya, mereka semua tinggal di Belanda. Seperti halnya warga RI lainnya yang tinggal di Negeri Kincir Angin ini, masing-masing punya kesibukan berbeda. Entah itu untuk studi, mencari nafkah, atau menyisihkan waktu buat acara keluarga.
Bermain musik merupakan sebuah kesempatan bagi mereka untuk saling bercengkerama dengan orang yang berasal dari Tanah Air yang sama, merasakan kembali rasa kampung halaman tercinta yang jauh di seberang sana.
Bermarkas di lingkungan pertanian – peternakan
Esa Samana Studio pertama bermarkas di sebuah ruang di Lage Weide, Utrecht. “Tapi karena masa sewanya waktu itu sudah habis, dan yang punya tempat tidak mau kita perpanjang kontraknya, ya terpaksalah kita cari tempat lain,” ujarnya.
“Ya, selain itu membernya pun berkembang. Biasa lah. Ada yang keluar tapi banyak juga yang masuk. Terus saya cari melalui internet. Kebetulan waktu itu ada satu studio musik di De Meern yang mau ditinggalkan penyewanya. Itu di daerah borderij (pertanian-peternakan). Saya langsung hubungi pemiliknya dan dia setuju kita yang sewa tempatnya. Untuk sewa ruang studio itu 300 euro per bulan kita bayar sama-sama. Ya iuran lah,” ungkap Carlo, mengisahkan awal mula berdirinya Esa Samana Studio.