Penulis: Azuzan JG
Kabarbelanda.com – Akhir pekan ini, tepatnya 21 Mei 2022, Esa Samana Studio akan menggelar konser bertajuk “Jamming to Another Level”, bertempat di Azotod Muziekpodium Utrecht, Belanda.
Seperti apa konsepnya? Apa yang membedakan jam session (jamming) ala Esa Samana Studio ini dengan jamming yang biasa dilakukan para pemusik lainnya di berbagai belahan dunia?
“Konsep jamming kita ini tidak seperti yang biasa kita ketahui dan kita lakukan. Ini lebih bertujuan untuk mempererat rasa kekeluargaan di antara kita,” kata Carlo Xenza, pentolan utama penggerak Esa Samana Studio.

Lintas generasi, lintas bangsa
“Jamming to Another Level” ini, akan melibatkan pemain musik lintas generasi dan lintas bangsa di Belanda. Mereka berasal dari bermacam-macam usia, sehingga bisa saling tukar pengalaman.
Generasi lebih muda bisa punya pengalaman pentas di depan publik. Musik yang dimainkan pun tidak hanya dari satu genre tertentu. Ada yang memainkan Punk, Rock, Metal, Pop, Reggae.
“Karena kita mengundang publik, dan mereka yang nonton itu harus membayar, ya masing-masing mereka yang tampil itu sudah ada persiapan-persiapan,” sambung Carlo, yang berasal dari Sumatera Utara.
Ini adalah kelima kalinya Esa Samana Studio mengorganisir sebuah konser musik dengan tema berbeda. Sebelumnya mereka memainkan jenis musik rock, metal, pop dan juga dangdut.
Mereka juga aktif menggelar pertunjukan musik untuk kegiatan sosial, seperti penggalangan dana untuk Bencana Lombok, beberapa tahun lalu. Beragam jenis musik di berbagai event di Belanda dan negara lainnya telah mereka mainkan.

Bermain musik tanpa proses latihan
Jamming adalah terminologi yang sudah lama dikenal dalam dunia musik. Dalam suatu jamming, beberapa pemusik yang bukan berasal dari satu grup, bermain musik bersama tanpa melalui proses latihan terlebih dahulu.
Mereka tak melakukan persiapan, hanya berdasar kesepakatan intuitif dalam menetapkan chord dasar atau patron musik tertentu. Selanjutnya setiap pemusik mengembangkan permainannya. Baik patron musik maupun sebuah repertoar yang dimainkan saat itu bisa jadi sudah dikenali oleh masing-masing pemain musiknya, tetapi tidak jarang terjadi bahwa masing-masing belum mengetahuinya sama sekali. Mereka juga bermain tanpa partitur, seperti bermain dalam tradisi musik klasik. Ini keunikannya.

Jamming sudah dikenal lama
Bermain musik secara jamming ini mungkin sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu dalam berbagai bentuk. Tetapi istilah “jamming” telah diterapkan selama beberapa dekade untuk melonggarkan interaksi melalui improvisasi di antara musisi, biasanya dalam suasana informal.
Pada 1920-an, musisi jazz berinteraksi setelah pertunjukan reguler mereka sambil minum, tertawa, dan bermain musik.
Estetika ini juga menjadi bagian integral dari perkembangan bluegrass di Amerika dan musik Kuba di Havana. Meskipun secara teknis orang yang bermain di genre musik apa pun dapat melakukan jamming, namun ini erat kaitannya dengan musik jazz.
Awal kemunculan jam session dalam genre rock dapat ditelusuri ke pertengahan tahun 60-an dengan kemunculan Grateful Dead dan Cream, yang berkembang menjadi genre tersendiri di tahun 90-an: improvisasi rock. (https://codacollection.co/stories/jam-band-timeline)
Penampilan pertama Jimi Hendrix
Dalam sejarah musik, tahun 1966 tercatat, Jimi Hendrix membuat penampilan pertama di Inggris ketika dia bermain dengan Cream di pertunjukan mereka di Polytechnic London.
Dia meminta untuk duduk dan bermain bersama Cream, memainkan gitar menggantikan dewa gitar Inggris, Eric Clapton.
Tidak ada yang tahu siapa dia. Tetapi “pada masa itu, siapa pun bisa bangun dengan siapa pun,” kata Clapton dalam sebuah wawancara.
(https://medium.com/@thelegendsofmusic/the-time-when-jimi-hendrix-jammed-with-cream-8f5d56f238d1)

Pentingnya keberanian berimprovisasi
Selain tuntutan skill bermusik, dalam jamming yang tidak didahului sebuah proses latihan bersama itu, penting untuk memiliki inisiatif berpartisipasi dalam kebersamaan bermain, saling mendengarkan, spontanitas, dan keberanian berimprovisasi.
Sebuah repertoar musik yang sudah dikenali bisa terdengar menjadi suatu jenis musik yang baru, lain dari musik aslinya. Dan tidak jarang pula terjadi, dalam sebuah jam session, repertoar musik yang dimainkan bersambung ke repertoar berikutnya tanpa melalui komunikasi verbal. Musik itu sendiri yang menjadi alat komunikasinya.
Ketika sebuah repertoar musik sedang dimainkan, seorang pemain musik mungkin saja menyelipkan melodi atau ritme tertentu dari sebuah musik yang mengacu pada patron musik yang lain, lalu direspons oleh pemain musik lainnya. Itu menjadi sebuah komunikasi tersendiri di ranah budaya.
Bermula dari Empat Anggota
Esa Samana Studio itu bermula dari empat orang anggota, yaitu Henri Manik, Dahlan Saragih, Asa Sidabutar, dan Carlo.
“Kami main musik bersama. Ya biasa lah kayak waktu kita di Medan dulu. Nah, dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, muncul ide cari tempat sendiri untuk latihan,” ujar Carlo.
Menurutnya, sewa studio dalam kota itu sangat mahal. Itu pun waktunya dibatasi hanya 3 jam. “Sedangkan kita kalau sudah kumpul, kita tidak cuma main musik saja, tapi ada saling curhatnya,” ujar pria alumnus IKIP Medan ini, sambil tertawa.
Ya, mereka semua tinggal di Belanda. Seperti halnya warga RI lainnya yang tinggal di Negeri Kincir Angin ini, masing-masing punya kesibukan berbeda. Entah itu untuk studi, mencari nafkah, atau menyisihkan waktu buat acara keluarga.
Bermain musik merupakan sebuah kesempatan bagi mereka untuk saling bercengkerama dengan orang yang berasal dari Tanah Air yang sama, merasakan kembali rasa kampung halaman tercinta yang jauh di seberang sana.

Bermarkas di lingkungan pertanian – peternakan
Esa Samana Studio pertama bermarkas di sebuah ruang di Lage Weide, Utrecht. “Tapi karena masa sewanya waktu itu sudah habis, dan yang punya tempat tidak mau kita perpanjang kontraknya, ya terpaksalah kita cari tempat lain,” ujarnya.
“Ya, selain itu membernya pun berkembang. Biasa lah. Ada yang keluar tapi banyak juga yang masuk. Terus saya cari melalui internet. Kebetulan waktu itu ada satu studio musik di De Meern yang mau ditinggalkan penyewanya. Itu di daerah borderij (pertanian-peternakan). Saya langsung hubungi pemiliknya dan dia setuju kita yang sewa tempatnya. Untuk sewa ruang studio itu 300 euro per bulan kita bayar sama-sama. Ya iuran lah,” ungkap Carlo, mengisahkan awal mula berdirinya Esa Samana Studio.
Esa Samana Studio sekarang ini menempati ruang seukuran 40 meter persegi. Ruang dengan dinding kedap suara yang memadai di lingkungan peternakan yang asri dan sepi itu kini dipenuhi berbagai peralatan musik dan soundsystem. Tempat itu sangat ideal untuk berlatih musik. Sangat inspiratif. Jauh dari bisingnya lalu lalang kendaraan. Hampir setiap minggu ada saja yang bermain musik di studio itu atau melakukan jam session. “Kalau ada yang lagi dapat panggilan main, ada suatu kegiatan, kadang-kadang bisa tiap hari ada yang latihan,” jelasnya lagi.
Anggota terus bertambah
Kini anggota Esa Samana Studio sudah berkembang menjadi 14 orang. Iuran anggota per bulannya sangat terjangkau. Setiap anggota atau beberapa anggota boleh bikin grup musik sendiri dan memakai studio.
Beberapa grup band telah lahir dari Esa Samana Studio, dan sudah sering mentas di berbagai acara yang diadakan warga RI di berbagai kota di Belanda, seperti Pasar Malam di berbagai kota dan berbagai event lainnya. Tidak hanya bermain di Belanda, mereka juga kadang bermain sampai ke Jerman, Prancis, dan Belgia.
Untuk pengembangan Esa Samana Studio di masa depan, Carlo mengharapkan anggotanya terus bertambah.
Tujuannya untuk meringankan beban menyewa studio. Saat ini dengan 14 anggota, pihaknya hanya bisa menyewa ruang 40 meter persegi di pinggir kota.
Sedangkan jika ada 40 anggota atau lebih, studio yang bisa disewa bisa lebih besar. Misalnya, ditingkatkan ke studio yang luasnya 100 meter persegi.
“Di situ baru bisa kita bikin macam-macam kegiatan. Tidak hanya musik, tapi kesenian lain, seperti seni rupa, tari, teater,” kata Carlo bersemangat.
KBRI Den Haag punya rencana untuk membuat Rumah Budaya di bekas gedung Konsulat RI di Amsterdam. Gedungnya saat ini sedang direnovasi dan hampir selesai. “Apa tidak terpikir kalau Esa Samana Studio suatu saat pindah ke sana kalau Rumah Budaya itu nanti terwujud?” tanya penulis.
“Itu bagus. Bagus lah ada Rumah Budaya. Jadi ada tempat kegiatan seni budaya yang tetap untuk warga RI di Belanda. Tapi ya kita mesti pikir-pikir juga lah buat kawan-kawan yang rumahnya jauh dari Amsterdam. Jadi, studio yang di Utrecht ini tetap kita adakan, supaya kawan-kawan yang tinggal tidak jauh dari Utrecht bisa mudah kumpul dan mengembangkan bakatnya,” jelas Carlo.
Nah, bagi anda, baik warga RI maupun bukan, yang tinggal di sekitar Utrecht atau di kota lainnya dan tertarik untuk bergabung (menjadi member) Esa Samana Musik Studio, Carlo berpesan bisa menghubungi nomor: +31 644028150.
“Kita terbuka untuk siapa saja yang mau jadi member, hubungi saja nomor itu,” ujarnya ramah, menutup pembicaraan.
Editor: Tian Arief