Menurut MR Groen, setiap perkawinan campur yang terjadi di Belanda, maka pasangan itu harus melaporkan atau mencatatkan perkawinan ke pemerintah Belanda.
Sedangkan jika menikah di Indonesia, catatkan perkawinan secara resmi ke lembaga pemerintah Indonesia. Kemudian dokumen perkawinan tadi dilaporkan ke pemerintah Belanda.
“Berdasarkan catatan yang sah itu, bisa diketahui apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Misalnya, jika terjadi perceraian, maka pasangan (pria) Belanda wajib memberikan elementasi (tunjangan) kepada istri dan anaknya,” tutur Groen.
Catatkan setiap kelahiran anak
Groen melanjutkan, setiap kelahiran anak dari pasangan warga Belanda, meskipun lahir di Indonesia, juga harus didaftarkan, baik di Indonesia maupun di Belanda. Karena hukum di Belanda akan mengikat kedua belah pihak.
“Anak dan pasangan (istri) di Belanda bisa mendapatkan hak-haknya menurut hukum Belanda. Misalnya biaya sekolah dan lainnya sampai ia berusia 21 tahun,” ujarnya.
Ia melihat, banyak dari pasangan warga negara Belanda yang tidak mau mendaftarkan perkawinan mereka di Belanda, karena jika terjadi perceraian konsekuensinya lebih berat. Dia harus membayar santunan sesuai hukum Belanda.
Sedangkan jika hanya tercatat di Indonesia saja, maka proses perceraian hanya menggunakan hukum Indonesia.
“Ini jelas, pasangan (biasanya perempuan) tidak akan mendapatkan apa-apa, karena proses perceraian di Indonesia tidak mewajibkan pasangan warga Belanda untuk memberikan elementasi sesuai kebutuhan hidup anak (dan istri). Melainkan hanya diberikan sekali, dan tentu saja ini tidak cukup,” paparnya.