Nostalgia Masa-masa Sulit dan Rindu Tanah Air

Penulis: Pater S. Manek

Kabarbelanda.comEko Silvester Manek mengabdikan dirinya sebagai pater di Nieuwegein dan Hoofddorp, Belanda. Keberangkatan Magister Teologi lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK) ke Negeri Kincir Angin, 6 tahun lalu itu, adalah panggilan untuk mengabdi menjadi abdi Tuhan sebagai Misionaris. Berikut ini kisahnya.  

Bersama misionaris asal Indonesia, di Hoofddorp, 2021. (Dok. Pribadi)

HARI ini, genap 6 tahun saya tinggal di negeri Belanda. Negara indah dengan tanah datar, meski cuacanya seringkali susah ditebak dan kurang sinar matahari. Hampir 2 tahun saya tinggal di Nieuwegein provinsi Utrecht, kota tempat filsuf besar Rene Descartes pernah tinggal dan berkarya.

Persiapan rapat yang diadakan secara rutin setiap minggu di kota Hoofddorp. (Dok. Pribadi)

Di sana ada rumah SVD (Societes Verbi Divina/Serikat Sabda Allah), yang saat ini sudah dijual. Pater Kees Maas, SVD mantan dosen di Ledalero, pernah lama tinggal di sana. Kini ia tinggal di Teteringen.

Selama kota kecil itu, saya mempelajari bahasa Belanda. Pada pertengahan 2018, saya diminta pimpinan SVD bersama seorang rekan dari Filipina memulai misi baru di Hoofddorp. Sebuah kota yang terletak antara Bandara Schiphol dan Leiden. Kami berdua datang tinggal di pastoran yang sudah kosong selama 3 tahun lebih, karena pastor parokinya sudah pindah ke tempat lain meskipun ia masih melayani paroki ini.

Menikmati liburan di Jerman, 2021. (Dok. Pribadi)

Masih segar dalam ingatan, bagaimana kami berdua harus membersihkan dan menata pastoran yang berumur lebih dari 150 tahun itu. Bangunan besar tiga lantai itu bersambung dengan gereja. Pastor parokinya adalah Pater Kees van Lent (pernah menjadi imam Jesuit, yang kemudian pindah menjadi imam projo Keuskupan Haarlem-Amsterdam). Beliau selain imam juga sebagai tukang kayu (timmerman), sama seperti ayahku. Dia banyak membantu kami sehingga membuat kami betah tinggal di pastoran.

Pelayanan membesuk salah seorang jemaat di Belanda. (Dok. Pribadi)

Sejak tinggal di sini, saya mulai bergaul dan akrab dengan umat. Setiap hari melihat, mengikuti, dan mempelajari cara kerja mereka, termasuk cara mereka mengungkapkan iman mereka. Selain itu tantangan bahasa yang sebelumnya hanya dipelajari dari buku, kini harus dipraktikkan. Ini tidaklah gampang.

Pergumulan besar terjadi saat saya harus memulai misa dan khotbah dalam bahasa Belanda di hadapan banyak orang. Hampir tiap hari selalu rapat untuk kegiatan sekecil apa pun. Maklum, orang Belanda selalu merencanakan segala segala sesuatu secara mendetail. Segala sesuatu diatur secara sistematis. Saya senang dengan proses-proses dan cara kerja seperti ini.