Penulis: Pater S. Manek
Kabarbelanda.com – Eko Silvester Manek mengabdikan dirinya sebagai pater di Nieuwegein dan Hoofddorp, Belanda. Keberangkatan Magister Teologi lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK) ke Negeri Kincir Angin, 6 tahun lalu itu, adalah panggilan untuk mengabdi menjadi abdi Tuhan sebagai Misionaris. Berikut ini kisahnya.

HARI ini, genap 6 tahun saya tinggal di negeri Belanda. Negara indah dengan tanah datar, meski cuacanya seringkali susah ditebak dan kurang sinar matahari. Hampir 2 tahun saya tinggal di Nieuwegein provinsi Utrecht, kota tempat filsuf besar Rene Descartes pernah tinggal dan berkarya.

Di sana ada rumah SVD (Societes Verbi Divina/Serikat Sabda Allah), yang saat ini sudah dijual. Pater Kees Maas, SVD mantan dosen di Ledalero, pernah lama tinggal di sana. Kini ia tinggal di Teteringen.
Selama kota kecil itu, saya mempelajari bahasa Belanda. Pada pertengahan 2018, saya diminta pimpinan SVD bersama seorang rekan dari Filipina memulai misi baru di Hoofddorp. Sebuah kota yang terletak antara Bandara Schiphol dan Leiden. Kami berdua datang tinggal di pastoran yang sudah kosong selama 3 tahun lebih, karena pastor parokinya sudah pindah ke tempat lain meskipun ia masih melayani paroki ini.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana kami berdua harus membersihkan dan menata pastoran yang berumur lebih dari 150 tahun itu. Bangunan besar tiga lantai itu bersambung dengan gereja. Pastor parokinya adalah Pater Kees van Lent (pernah menjadi imam Jesuit, yang kemudian pindah menjadi imam projo Keuskupan Haarlem-Amsterdam). Beliau selain imam juga sebagai tukang kayu (timmerman), sama seperti ayahku. Dia banyak membantu kami sehingga membuat kami betah tinggal di pastoran.

Sejak tinggal di sini, saya mulai bergaul dan akrab dengan umat. Setiap hari melihat, mengikuti, dan mempelajari cara kerja mereka, termasuk cara mereka mengungkapkan iman mereka. Selain itu tantangan bahasa yang sebelumnya hanya dipelajari dari buku, kini harus dipraktikkan. Ini tidaklah gampang.
Pergumulan besar terjadi saat saya harus memulai misa dan khotbah dalam bahasa Belanda di hadapan banyak orang. Hampir tiap hari selalu rapat untuk kegiatan sekecil apa pun. Maklum, orang Belanda selalu merencanakan segala segala sesuatu secara mendetail. Segala sesuatu diatur secara sistematis. Saya senang dengan proses-proses dan cara kerja seperti ini.

Tidak lama kemudian, datang lagi seorang rekan, pastor Belanda P. Bert Wooning, sesama SVD, yang sudah 40 tahun berkarya di Paraguay. Pastor Wooning memperkuat komunitas baru ini, sehingga kami jadi bertiga. Saat ini beliau sudah pindah lagi ke komunitas lain.

Untuk ukuran Belanda, paroki di mana kami layani terbilang sangat aktif. Umatnya pun rata-rata dari kelas menengah, dan itu menjadikan tantangan tersendiri. Butuh waktu lama untuk saling belajar dan menyesuaikan diri. Tapi saya bersyukur, lewat proses panjang bahasa Belanda saya perlahan-lahan mulai membaik meski belum 100 persen. Namun sudah bisa diandalkan untuk terus berkarya, karena proses belajar itu berlangsung seumur hidup.
Pertengahan 2019, saya untuk pertama kalinya mengambil cuti dan pulang ke Tanah Air. Bersamaan dengan itu, rekanku dari Filipina, satu-satunya teman di awal-awal di pastoran itu, kembali ke Filipina untuk selamanya. Artinya ia pulang kembali ke tanah airnya. Kepergiannya membuatku ekstra berjuang dan terasa berat. Pastor paroki Pater Kees berharap ada rekan yang bisa menggantikannya di masa depan. Tapi apa mau dikata, suka atau tidak, bisa atau tidak, misi Tuhan harus terus berjalan.

Mulai dari sini, saya benar-benar ditantang untuk mengisi pelayanan yang tidak ringan dengan segala keterbatasan saya. Tantangan makin nyata ketika rekan seperjuangan meninggalkan saya. Tapi di sisi lain, saya memandangnya secara positif karena lewat tantangan dan masa-masa yang sulit seseorang bisa berkembang dengan baik dan kaya akan pengalaman di masa depan.
Saya bersyukur, di masa-masa ini bisa belajar dalam banyak hal melalui mereka yang saya jumpai, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tuhan memang tidak pernah meninggalkanmu meski di tanah asing nan jauh. Jika Dia menghendakimu untuk misiNya, Dia akan menjelmakan diriNya dalam tantangan, dan itu membuatmu melakukan pilihan. Maju terus atau berhenti. Dia menjelmakan diriNya dalam diri orang-orang yang berkehendak baik yang bisa berjalan dan belajar bersamamu.

Saya berucap syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada mereka yang dengan cara masing-masing menciptakan ruang dan waktu untuk belajar dan bertumbuh bersama. Perjalanan masih panjang, tantangan tetap ada. Bersama Tuhan dan mereka yang berkehendak baik, misi Tuhan di mana pun tidak pernah gagal.
Tahun ini saya akan mengambil cuti. Ayahku menanti di rumah. Saya harus kembali sejenak melepas rindu bersamanya, mumpung Tuhan masih memberi saya umur. (Tamat)
Editor: Tian Arief