Penulis: Pater S. Manek
Kabarbelanda.com – Eko Silvester Manek mengabdikan dirinya sebagai pater di Nieuwegein dan Hoofddorp, Belanda. Keberangkatan Magister Teologi lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK) ke Negeri Kincir Angin, 6 tahun lalu itu, adalah panggilan untuk mengabdi menjadi abdi Tuhan sebagai Misionaris. Berikut ini kisahnya.

TANGGAL 3 April 2016 adalah momen terpenting dalam sejarah hidup saya. Terbang dari Jakarta sendirian ke negeri asing, negeri Belanda. Sebuah perjalanan jauh. Tak kurang dari 10 jam penerbangan saya jalani. Modal bahasa Belandaku nol. Beruntung saya sedikit menguasai bahasa Inggris. Tidak jelek-jelek amat, tapi bisa untuk menyelamatkan diri dari situasi sulit.
Sekitar pukul 09.00 waktu Belanda, pesawat Garuda yang kutumpangi mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Kabut tebal dan udara dingin menusuk tulang. Jaket tebal kupakai tak mampu menahan dinginnya udara. Cuaca saat itu dingin minta ampun. Jauh lebih dingin dari Mangulewa-Bajawa-Flores.

Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan rerumputan hijau nan luas. Segala sesuatu tampak asing, meski sebelumnya pernah kulihat di foto atau video. Di saat seperti itulah saya merasa benar-benar terasing dan sendirian.
Selama penerbangan, duduk di samping saya dua perempuan Indonesia, yang sampai hari ini tak pernah kukenal. Saat itu saya hanya ber-“say hello”, sekadar berbasa basi. Tak sampai mengobrol atau berkenalan.

Untunglah, kesendirian tadi hanyalah dirasakan sebentar. Saudaraku Pater Klemens sudah menunggu sambil membawa jaket Belanda tebal yang menghangatkan. Hati senang meski ingatan masih di tanah Timor manise.
Dengan Sprinter (kereta api jalur pendek yang berhenti di tiap stasiun), kami bergegas ke Duivendrecht. Di sana sudah menunggu Pater Marianus, putra Manggarai yang sudah bertahun-tahun di Belanda. “Selamat datang Adik,” sapanya dengan ramah. Ah… hati pun senang. Ternyata saya tidak sendirian. Di tempat ini pula kontak ke rumah kalau saya sudah tiba dengan selamat di Belanda.

Keesokan harinya, saudaraku P. Jean Pierre (kini almarhum) dari Togo, datang menjemputku. Kami harus berangkat ke Nieuwegein, dekat Utrecht. Saya akan menetap di sana, dan bersiap untuk belajar bahasa Belanda. Di komunitas ini, kami tinggal bersama empat orang dari negara berbeda sebagai sesama saudara. Namun salah seorang saudara yang terpaut 5 tahun di atasku meninggal dunia, setelah 2 tahun lebih hidup bersama. Kami sungguh sedih dibuatnya. Sedikit shock. Dia meninggal jauh dari keluarganya. Inikah nasib yang akan kami alami kelak?
Di rumah Nieuwegein inilah sebuah fase baru dimulai. Belajar Nederlandse Taal, menyesuaikan diri dengan cuaca, makanan, dan lain-lain. Proses belajar dan penyesuaian dimulai.

Saat ini, sudah genap 3 tahun tinggal di negara sekular ini. Namun kemampuan bahasa Belanda saya belum seberapa. Cuaca dingin masih menjadi momok bila winter. Artinya, proses belajar masih terus berlanjut. Tapi setidaknya saya punya alasan untuk bersyukur.
Belakangan saya mengenal banyak orang senegara. Mereka yang begitu aktif di gereja, sebut saja KKI (Keluarga Katolik Indonesia), juga saudara-saudara yang Protestan. Mereka adalah bagian dari keluarga yang membantu saya mendapatkan informasi yang saya butuhkan. Terima kasih saudara.
Sekarang ini, masih banyak yang harus saya benahi, saya pelajari, dan butuh perhatian untuk perbaikan. Terima kasih untuk semuanya, yang dengan caranya telah ikut menenun sejarah hidupku. Tarekatku, keluargaku, saudaraku, dan sahabat-kenalan. Kiranya Tuhan mengganjari kebaikanmu.
“Tiga tahun belum apa-apa, bro,” kata Yan Asa, saat melihat saya yang agak stres karena bahasa Belanda masih terbatas. Memang betul, itu tidak gampang. Tapi saya tetap berharap, segala sesuatu berjalan sesuai penyelenggaraanNya. (Bersambung)
Editor: Tian Arief