Tiga Tahun Absen, Java Village Kembali Ramaikan Wereldfair Leiden

Penulis: Silvy Puntowati

Kabarbelanda.com –  Kabar gembira bagi yang kangen kudapan Tanah Air. Lumpia Semarang, arem, arem, lemper ayam, ayam goreng, nasi kuning, songkolo, siomay, martabak, bala-bala, tempe mendoan, pisang goring, onde onde, kacang bawang, klepon.

Yayasan Java Village kembali hadir pada acara “Wereldfair” di halaman Museum Volkenkunde, Leiden, Senin (6/6).

Pandemi Corona menyebabkan Wereldfair sempat tidak diadakan selama tiga tahun. Tahun ini, seperti pada 2017 dan 2019 stand Yayasan “Java Village” kembali menjual barang barang souvenirs dan makanan khas dari Indonesia.

Makanan makanan tersebut dibuat oleh masyarakat Indonesia anggota “Angkringan Leiden” yang tinggal di kota Leiden dan sekitarnya.Jadi, cita rasa asli Indonesia dapat dicicipi para pengunjung “Wereldfair”.

Pendiri dan ketua “Angkringan Leiden”, Ary Kusnanto (Foto: Hans Kleijn)

“Angkringan Leiden” yang didirikan Ary Kusnanto, sejak 2017 aktif membantu Yayasan Java Village dalam kegiatan pengumpulan dana.

“Angkringan Leiden” merupakan ajang bagi komunitas pecinta makanan Indonesia yang tinggal di Leiden dan sekitarnya untuk saling menawarkan dan membeli masakan Indonesia.

Sebagian besar anggota “Angkringan Leiden”adalah orang Indonesia yang tinggal secara tetap maupun sementara, misalnya dalam rangka studi di Leiden.

Namun ada juga penduduk Belanda asli yang menjadi anggota karena mereka menyukai makanan Indonesia. Secara teratur, anggota yang pintar memasak menawarkan masakan andalannya masing masing melalui jaringan WhatsApp.

Pengurus Yayasan Java Village kiri ke kanan: Kristel Hoogstad, Sonya Abrahams, Mies Grijns, Huguette Mackay, Ties Molhoek (berdiri di belakang). (Foto: Silvy Puntowati)

“Wereldfair” di halaman Museum Volkenkunde, Leiden penuh dengan berbagai stand yang menjual produk produk menarik dan makanan khas dari berbagai penjuru dunia.

Lokasi museum Volkenkunde yang sangat dekat dengan stasiun Central sangat mudah dicapai oleh pengunjung dari lain kota yang bermaksud datang dengan kendaraan umum, kereta api atau bus.

Ties Molhoek, Silvy Puntowati, Bati dan Ary Kusnanto pada Wereldfair 2017 (Foto: Silvy Puntowati)

Pengunjung yang datang dengan mobil pribadi bisa memarkir kendaraannya di tempat parkir molen De Valk atau Morspoort.

Selain belanja, pengunjung juga tetap bisa masuk ke museum untuk mengunjungi pameran yang sedang berlangsung atau mengikuti berbagai kegiatan dan workshop menarik yang khusus diadakan pada hari itu.

Stichting Java Village atau Java Village Foundation didirikan Mies Grijns dan Titi Setiawati.

Berawal saat Mies Grijns, ahli antropologi budaya, melakukan penelitian di perkebunan teh di Jawa Barat, di masa mudanya.

Sekretaris Java Village Ties Molhoek dan koordinator bagian makanan Silvy Puntowati pada Wereldfair 2017. (Foto: Dok. Silvy Puntowati)

Selama penelitian, Mies muda dibantu Titi Setiawati. Selama berbulan bulan hidup membaur bersama penduduk yang mereka teliti, mereka melihat dan menyaksikan sendiri berbagai permasalahan yang dialami penduduk setempat.

Pada tahun 2000 keduanya tergerak untuk membantu penduduk desa tempat mereka melakukan penelitian. Pada 2007 kegiatan bantuan diresmikan menjadi sebuah yayasan.

Fokusnya terutama ditujukan untuk membantu anak anak dan remaja yang rawan putus sekolah serta wanita yang terpaksa menjadi pencari nafkah keluarga.

Sebagian makanan yang dijajakan saat Wereldfair 2019 (Foto: Hans Kleijn)

Kecintaan Mies Grijns pada Tanah Sunda dan penduduknya sebetulnya sudah dimulai saat masih anak anak.

Ketika Mies masih bayi berusia 5 bulan, beliau dibawa orangtuanya ke Indonesia dan menetap di kota Bogor.

Di kota hujan tersebut, Mies bersekolah di Sekolah Dasar Satu Bakti bersama anak anak Indonesia lainnya. Hal mana membuat Mies fasih berbahasa Indonesia dengan logat Sunda.

Stand Yayasan Java Village laris manis diserbu pembeli pada Wereldfair 2019. (Foto: Hans Kleijn)

Pada usia 12 tahun Mies dikirim orangtuanya untuk meneruskan sekolah menengah di Belanda. Adapun bahasa Sunda berhasil dikuasainya ketika kembali ke tanah Priangan untuk melakukan penelitian dan tinggal bersama penduduk yang ditelitinya.

Sampai saat ini Yayasan Java Village telah berhasil membantu 130 anak anak untuk meneruskan sekolah mereka ke Sekolah Menengah Pertama di daerah Sukabumi.

Tahun ini Yayasan Java Village juga akan membantu beberapa anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Kejuruan.

Dua relawan Java Village pada Wereldfair 2017. (Foto: Silvy Puntowati)

Meskipun pusat perhatian dan kegiatan Yayasan Java Village berada di daerah Jawa Barat, relawan Indonesia yang ikut membantu dalam pencarian dana berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain dari Bandung dan daerah di Jawa Barat lainnya, ada juga relawan yang berasal dari Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, Makassar dan Manado.

Persamaannya adalah mereka semua tinggal di kota Leiden dan sekitarnya.

Fitri, relawan Yayasan Java Village berasal dari Semarang pada Wereldfair 2019. (Foto: Hans Kleijn)

Tahun ini, ada juga relawan yang datang dari Warmenhuizen, kota yang terletak sekitar 80 kilometer sebelah utara Leiden. Para relawan mengaku bertekad untuk berbuat kebaikan bagi Negara Indonesia tercinta, meskipun mereka tinggal jauh di Belanda.

“Apalagi bantuan Yayasan Java Village sebagian besar digunakan untuk membantu anak anak rawan putus sekolah, sangat menggugah hati kami untuk membantu,” kata para relawan.

Informasi yang lebih lengkap tentang Yayasan bisa bisa dilihat di website: www.javavillage.org.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :