Nostalgia Saat Menapak Pertama di Belanda, Cuaca Dingin dan Kendala Bahasa

Dengan Sprinter (kereta api jalur pendek yang berhenti di tiap stasiun), kami bergegas ke Duivendrecht. Di sana sudah menunggu Pater Marianus, putra Manggarai yang sudah bertahun-tahun di Belanda. “Selamat datang Adik,” sapanya dengan ramah. Ah… hati pun senang. Ternyata saya tidak sendirian. Di tempat ini pula kontak ke rumah kalau saya sudah tiba dengan selamat di Belanda.

Saat mengikuti konferensi tentang Gereja Misioner di Breda. (Dok. Pribadi)

Keesokan harinya, saudaraku P. Jean Pierre (kini almarhum) dari Togo, datang menjemputku. Kami harus berangkat ke Nieuwegein, dekat Utrecht. Saya akan menetap di sana, dan bersiap untuk belajar bahasa Belanda. Di komunitas ini, kami tinggal bersama empat orang dari negara berbeda sebagai sesama saudara. Namun salah seorang saudara yang terpaut 5 tahun di atasku meninggal dunia, setelah 2 tahun lebih hidup bersama. Kami sungguh sedih dibuatnya. Sedikit shock. Dia meninggal jauh dari keluarganya. Inikah nasib yang akan kami alami kelak?

Di rumah Nieuwegein inilah sebuah fase baru dimulai. Belajar Nederlandse Taal, menyesuaikan diri dengan cuaca, makanan, dan lain-lain. Proses belajar dan penyesuaian dimulai.

Di depan Sint Jan Kathedraal Den Bosch. (Dok. Pribadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :