Selama kota kecil itu, saya mempelajari bahasa Belanda. Pada pertengahan 2018, saya diminta pimpinan SVD bersama seorang rekan dari Filipina memulai misi baru di Hoofddorp. Sebuah kota yang terletak antara Bandara Schiphol dan Leiden. Kami berdua datang tinggal di pastoran yang sudah kosong selama 3 tahun lebih, karena pastor parokinya sudah pindah ke tempat lain meskipun ia masih melayani paroki ini.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana kami berdua harus membersihkan dan menata pastoran yang berumur lebih dari 150 tahun itu. Bangunan besar tiga lantai itu bersambung dengan gereja. Pastor parokinya adalah Pater Kees van Lent (pernah menjadi imam Jesuit, yang kemudian pindah menjadi imam projo Keuskupan Haarlem-Amsterdam). Beliau selain imam juga sebagai tukang kayu (timmerman), sama seperti ayahku. Dia banyak membantu kami sehingga membuat kami betah tinggal di pastoran.
Sejak tinggal di sini, saya mulai bergaul dan akrab dengan umat. Setiap hari melihat, mengikuti, dan mempelajari cara kerja mereka, termasuk cara mereka mengungkapkan iman mereka. Selain itu tantangan bahasa yang sebelumnya hanya dipelajari dari buku, kini harus dipraktikkan. Ini tidaklah gampang.
Pergumulan besar terjadi saat saya harus memulai misa dan khotbah dalam bahasa Belanda di hadapan banyak orang. Hampir tiap hari selalu rapat untuk kegiatan sekecil apa pun. Maklum, orang Belanda selalu merencanakan segala segala sesuatu secara mendetail. Segala sesuatu diatur secara sistematis. Saya senang dengan proses-proses dan cara kerja seperti ini.