“Biaya untuk sewa gedung di kota Hilversum awalnya 80 gulden, lalu naik menjadi 100 gulden untuk setiap kali pertemuan. Di situ kami bertahan sampai 7 tahun. Sebelum pandemi corona, arisan sering diadakan di gedung pertemuan di kota Almere. Alasan pindahnya, karena pemilik gedung yang lama tak lagi mengizinkan kami membawa makanan. Tapi terakhir sebelum lockdown, September 2021, kami bikin acara di kawasan Vaneker, Enschede. Tak kurang dari 100 orang yang datang,” tutur Bertha.

Jadilah Esa Genang perkumpulan orang Minahasa terbesar di Belanda. Setiap tahun mereka merayakan ulang tahun perkumpulan ini, selain tentu saja merayakan Natal bersama. Acara ulang tahun di atas kapal kapal dilakukan untuk ketiga kalinya.

“Dalam setiap pesta, banyak simpatisan lain yang ikut meramaikan acara. Karena memang rame dan seru sekali. Ada anggota Esa Genang yang menjadi donatur di usia 99 tahun, lho. Ada Ibu Emilia Agustina Pangalila Ratulangi, anak Pahlawan Nasional dr Sam Ratulangi, 99 tahun, tinggal di Soest, dan juga Sien Smith, 93 tahun, tinggal di Groningen,” jelas Bertha.

“Jumlah anggota sekarang sudah banyak, lebih dari 100 orang. Dan bukan lagi khusus orang Minahasa, tapi juga dari suku lain, seperti ambon, Sumatera, dan bahkan orang Suriname, dan warga Belanda. Karena kan semuanya pada menikah dengan suku lain, ada juga yang ngajak tetangga atau kenalannya untuk ikut di perkumpulan ini. Ya bagus juga, Jadi lebih berwarna,” papar Bertha lebih lanjut.

Apa arti Esa Genang? Dalam bahasa Tombulu (Manado), artinya sehati, sepikiran. Esa Genang dijadikan stichting atau yayasan tahun 1998. Ada iuran anggota. Antara lain untuk bayar sewa gedung, atau jika ada yang sakit atau menikah, sumbangannya diambil dari uang kas itu.
Sejak lockdown gelombang kedua, mau tak mau perkumpulan Esa Genang harus menahan diri untuk tidak membuat acara kumpul-kumpul seperti biasa. Mereka sabar menunggu sampai situasi dan kondisi kembali membaik.
Editor: Tian Arief