Dalam ketiga rapat umum itu, beberapa orang rupanya belum fasih berbahasa Indonesia! Mereka berpidato dalam Bahasa Belanda dan Moh Yamin menerjemahkannya. Namun, rupanya rasa nasionalisme mereka tetap menggebu-gebu. Mulanya kelompok kepanduan ingin berarak-arakan, tetapi pihak kepolisian tidak mengizinkannya. Larangan menjengkelkan ini semakin meningkatkan solidaritas pemuda. Ketika WR Supratman melantunkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya tampak banyak mata berlinang di ruangan itu.

Menjelang akhir acara, ketika Sunario SH menyerukan para pemuda untuk menjadi penggerak persatuan Indonesia, Moh. Yamin, sekretaris di acara itu, menyodorkan sehelai kertas kepada Sugondo, ketua rapat. “Saya punya rumusan resolusi yang elegan,” katanya.
Sugondo segera memberi paraf setuju setelah membaca rumusan di kertas itu. Amir Syarifuddin membacanya dan segera menandatangani kertas itu. Rumusan sederhana di kertas itu adalah Sumpah Pemuda, yang kemudian dibacakan dengan lantang:
“Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku …” (“and the rest is history!” kata orang yang tidak berbahasa Indonesia).
Pada tahun 1928, para pemuda dan pemudi di kongres itu sudah menyebutkan Indonesia, akan tetapi barangkali pada saat itu hampir semua orang baru berani mengangankan gagasan mengenai kemerdekaan dan negara Indonesia yang mandiri dan bebas-merdeka dari penindasan penjajah. Akan tetapi, pada waktu kongres itu mereka sudah menjentikkan bara api yang diperlukan untuk mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan di kemudian hari.

Sumpah Pemuda itu memberi kesadaran adanya identitas bersama sebagai satu bangsa, yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi di tanah Indonesia. Satu bangsa yang memiliki bahasa persatuan bersama, bahasa Indonesia.
Kembali ke pertanyaan saya di atas tadi: apa sebenarnya makna Sumpah Pemuda bagi saya? Apa maknanya bagi saya yang tinggal jauh dari ‘rahim’ Ibu Pertiwi?
Yang penting untuk saya sebetulnya bukan peristiwa sejarah diucapkannya Sumpah Pemuda itu sendiri. Bukan tanggal 28 Oktober yang penting. Yang penting, yang bermakna bagi saya adalah inti sumpah itu: Saya mengaku berbangsa Indonesia.
Inilah yang membedakan saya dengan liyan, dengan orang lain yang bukan bangsa Indonesia. Pengakuan itulah yang memberikan identitas hakiki kepada saya, seorang perempuan Indonesia, yang tinggal di negeri orang.
Tetapi, bagaimana halnya dengan orang-orang lain, yang berlatar belakang sama, yang tinggal di negeri ini? Bagaimana halnya orang yang bukan lagi warga negara Indonesia? Bagaimana halnya bagi orang yang tercerabut dari Tanah Air seperti para eksil dari Papua, eksil dan penyintas peristiwa September 1965? Apakah mereka juga masih berbangsa Indonesia?
Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Ketika Kongres Pemuda II itu diselenggarakan, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan dan lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan, tak seorang pun yang hadir dapat mengatakan bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia! Tak seorang pun memiliki paspor Republik Indonesia, karena semuanya, tanpa kecuali, merupakan warga kelas dua Hindia-Belanda!
Sumpah Pemuda tidak berbicara mengenai kewarganegaraan. Kebangsaan, keindonesiaan, identitas jati diri yang hakiki, datang dari hati dan tidak dapat dipaksakan datang atau pun pergi karena ada atau tidak adanya secarik kertas!
Dengan lantang dan tegas, saya katakan:
Saya, putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia;
Saya, putri, Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia;
Saya, putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Saya berbangga hati mengikrarkannya.***
*) Lulusan antropologi UI, dan melanjutkan studi di Universitas Leiden Belanda.
Editor: Tian Arief