EDD, Zaalberg, dan Pergerakan Kebangsaan

Perlu dipahami, di awal abad ke-20, kaum Indis sedang mengalami marjinalisasi yang masif dalam ranah sosial-politik. Bisa dibilang, inilah masa-masa tersulit bagi kaum Indis Hindia Belanda. Kaum Indis di Hindia-Belanda mayoritas bekerja di pemerintahan, tapi sebagai pegawai menengah dan rendah. Hanya  segelintir yang menjadi pejabat tinggi. Sebagian lagi bekerja di dunia profesional (jurnalis, periklanan, artis, dan lain-lain).

Secara administratif, kaum Indis memang digolongkan sederajat dengan kaum Eropa/Belanda. Tapi, sejak kedatangan banyak kaum perempuan Belanda ke tanah koloni di awal abad ke-20, posisi sosial kaum Indis semakin terpinggirkan. Para pria Eropa di Hindia-Belanda jadi memiliki banyak pilihan untuk menikah dengan perempuan Belanda. Perkawinan pria Eropa dengan wanita pribumi (dikenal dengan sebutan Nyai) yang di abad ke-19 dianggap sebagai kelaziman, kemudian dinilai sebagai kenistaan. Komunitas Eropa pun menjadi makin ekslusif, tak lagi banyak berbaur dengan kalangan Indis, Tionghoa, dan pribumi.

Di sisi lain, kalangan priyayi pribumi berpendidikan juga makin tumbuh. Mereka ini, yang lebih banyak jumlahnya dan mau digaji lebih murah, lebih menjadi pilihan untuk mengisi jabatan-jabatan menengah-bawah di jajaran pemerintahan kolonial. Akibatnya, banyak pekerja Indis— yang mengisi jabatan menengah-bawah di pemerintahan kolonial— kehilangan pekerjaan mereka. Situasi ini tentu saja meresahkan kebanyakan kaum Indis. Keresahan inilah yang ditampung, lantas disuarakan Bataviaasch Nieuwsblad.

Tiga Serangkai. (Wikipedia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :