Pelan-pelan usaha Ratih mulai bangkit kembali dan mulai menerima pesanan partai besar, seperti untuk acara rapat kerja di Hotel. “Pesannya juga udah mulai ratusan porsi lagi seperti dulu,” kata Ratih dengan nada riang.
Tak layani permintaan via pos
Sejak pandemi COVID-19 dan lock down, banyak permintaan nasi bakar yang dikirim via pos. Tapi Ratih belum sanggup memenuhinya, karena keterbatasan tenaga.
Harga nasi bakar Ratih sekarang naik menjadi 6 euro (sekitar Rp 102.000) per bungkus. Harga itu untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan makanan di toko Asia, sejak terjadi pandemi. Meskipun harga nasi bakar buatan Ratih naik 1 euro, tak seorang pelanggan pun yang mengajukan keberatan. Mereka memakluminya. Bahkan ada yang mengatakan, kalau pun harganya naik sampai 7,25 euro, itu masih dinilai wajar.
Bagi Ratih, berjualan kuliner memang sudah menjadi hobi dan sudah mendarahdaging di keluarganya. Dia sangat bahagia melihat pelanggannya puas. Jadi bukan semata-mata karena bisnis/uang. “Saya memasak ‘pakai hati’,” kata Ratih.
Awal berjualan nasi bakar juga karena dukungan suaminya. “Saya nggak mungkin berhasil kalau nggak ada support dari suami. Termasuk yang membawa makanan ke point place. Tapi sekarang para pelanggan harus mengambil sendiri ke Deventer. Saya paling mengantarkan pesanan sampai ke stasiun kereta api.