Meski begitu dia sangat menikmati suasana di Belanda. Hal yang paling menyenangkan menurutnya adalah bisa bersepeda kemana-mana dan jalurnya sudah sangat tertata.
Selain itu, udara Belanda yang bersih membuatnya nyaman bepergian ke mana-mana. Indira juga merasa bahwa Belanda juga menjunjung tinggi work-life balance, yang tidak dirasakannya ketika masih bekerja di Indonesia.
Hal yang dirindukannya dari Indonesia adalah suasana pertemanan yang mendalam, juga aktualisasi diri di kegiatan-kegiatan yang bermakna, yang tidak didapatinya di Belanda.
Namun itu tidak menghalangi Indira untuk tetap aktif. Tiga tahun pertama tinggal di Belanda, dia bergabung dengan sebuah grup gamelan Jawa di Amsterdam dan berlatih seminggu sekali. Dia juga sempat tampil di beberapa konser bersama grup gamelannya.
Indira juga sempat terlibat sebentar di sebuah project pendampingan pasien demensia di Amsterdam yang menggunakan metode suara dan menyanyi. Karena terlibat dalam project ini, saya tampil sebagai cameo dalam film dokumenter mengenai project ini dengan judul “Beyond Words”, yang tayang perdana pada April lalu di Amsterdam.
Saat ini, dia rutin berlatih olah raga bela diri Aikido dua kali seminggu. Dia pun menjadi guru Bahasa Indonesia di Indonesia House Amsterdam sekali seminggu sebagai bagian dari program reguler Atase Pendidikan dan Kebudayaan.
Di sela-sela kesibukannya itu, dia bersama sang suami, Luhur Bima atau teman-temannya, berjalan-jalan atau bersepeda, menjelajah Belanda maupun negara-negara di Eropa lainnya.
Memang traveling, hiking di alam, bersepeda, mengunjungi galeri dan museum, dan membaca buku merupakan hobi Indira sejak lama.
Untuk meraih gelar doktornya, disertasi penelitian Indira adalah mengenai asesmen dan intervensi masalah kesehatan mental terkait dengan trauma untuk masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa Indonesia.
Dia menggunakan perspektif psikotraumatologi, public mental health, dan e-mental health dalam penelitian. Ide awalnya adalah tingginya risiko masyarakat Indonesia mengalami peristiwa traumatis dan masalah kesehatan mental terkait dengan trauma.
Hanya saja, treatment gap di Indonesia sangat tinggi, banyak masyarakat, khususnya yang belum atau tidak mendapatkan layanan kesehatan mental karena berbagai alasan, seperti terbatasnya literasi kesehatan mental, belum meratanya layanan kesehatan mental, masalah finansial, aspek geografis, dan berbagai aspek lainnya.
“Saya terdorong untuk membuat sebuah produk intervensi sederhana yang tidak berbayar dan dapat diakses oleh masyarakat Indonesia secara bebas dari tempat manapun mereka berada, sekaligus memberikan edukasi yang akurat terkait dengan kesehatan mental dan trauma,” kata Indira.
Terlebih lagi di masa dimana banyak sekali informasi kesehatan mental yang tidak akurat beredar di internet maupun media sosial. Dia mengharapkan dengan adanya psikoedukasi berbasis website yang dia buat, dapat menjadi sumber informasi yang akurat bagi mahasiswa, meningkatkan literasi kesehatan mental dan mendorong akses ke layanan kesehatan mental, sekaligus dapat menjadi sarana pertolongan pertama bagi mereka untuk membantu diri sendiri saat mengalami masalah kesehatan mental.