Penulis: Yuke Mayaratih
Kabarbelanda.com – Mengejar gelar doktor sambil bekerja, belajar gamelan dan mengajar bahasa Indonesia di Belanda bukan hal yang mudah bagi Indira Primasari. Perlu perjuangan dan kerja keras untuk mengatasi berbagai tantangan yang menyertai, termasuk di kala pandemi.
Meski begitu wanita kelahiran Surakarta yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 39 tersebut menjalani semuanya dengan senang hati. Hingga penelitian disertasi S3 yang sempat terkendala pandemi, sehingga harus memulai dari awal, kini telah selesai.
Bagi dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut, mempelajari ilmu yang mempelajari seluk-beluk dinamika manusia yang dinamis itu menarik, dan ada seninya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang bersifat eksak.
“Saya pikir saya pilih psikologi juga karena pengaruh lingkungan,” kata Indira yang juga sering jadi tempat ‘curhat’ teman-temannya.
Di keluarga besarnya, ada beberapa kerabat yang juga lulusan psikologi dari berbagai jurusan. Bahkan ibunya pun seorang psikolog.
“Sejak kecil saya tumbuh dan mengalami sendiri bagaimana penerapan ilmu ini, yang secara langsung maupun tidak langsung membentuk ketertarikan saya,” kata Indira yang mengaku pernah punya banyak cita-cita di masa kecilnya. Mulai dari polisi, detektif, dokter, sampai jadi arkeolog, kenangnya sambil tertawa.
Serius mendalami ilmu psikologi, Indira pun terbang ke Negeri Kincir Angin untuk meraih gelar doktor di bidang ilmu psikotraumatologi di Amsterdam University Medical Center dengan beasiswa LPDP. Dia ingin mendalami tentang trauma karena menurutnya, masyarakat Indonesia berpotensi besar mengalami peristiwa traumatis seperti bencana alam, konflik di masyarakat, dan pola asuh, dan berpotensi pula mengalami dampak masalah kesehatan mental akibat peristiwa traumatis tersebut, baik secara individu maupun generasional.
“Sayangnya, tidak banyak penelitian tentang trauma di Indonesia yang bersifat komprehensif dan dapat diterapkan kembali untuk masyarakat, padahal masyarakat Indonesia sangat membutuhkannya,” kata Indira ramah.

Ditemui Kabarbelanda.com, di sebuah kedai kopi dekat Arsip Nasional Belanda. Penampilannya sangat feminim. Suaranya pun lembut. Sikapnya tenang dan sabar dalam mendengar, Indira mengaku tidak kesulitan menyesuaikan diri setibanya di Negeri Belanda.
Dia hanya sedikit terkejut karena di lingkungan kerja nya lebih banyak yang menggunakan bahasa Belanda daripada bahasa Inggris.
Untuk mengatasinya, Indira langsung mengambil kursus bahasa Belanda dasar sambil mempelajarinya dalam pergaulan sehari-hari.
“Gegar budaya lain adalah karena kolega-kolega saya sangat serius bekerja, dan minim bercakap-cakap selama jam kerja. Hal ini sangat berbeda dengan lingkungan kerja di Indonesia yang lebih cair dan fleksibel. Tapi saya segera bisa menyesuaikan, mungkin karena saya tipe yang cukup serius juga,” kata Indira mengenang.
Meski begitu dia sangat menikmati suasana di Belanda. Hal yang paling menyenangkan menurutnya adalah bisa bersepeda kemana-mana dan jalurnya sudah sangat tertata.
Selain itu, udara Belanda yang bersih membuatnya nyaman bepergian ke mana-mana. Indira juga merasa bahwa Belanda juga menjunjung tinggi work-life balance, yang tidak dirasakannya ketika masih bekerja di Indonesia.
Hal yang dirindukannya dari Indonesia adalah suasana pertemanan yang mendalam, juga aktualisasi diri di kegiatan-kegiatan yang bermakna, yang tidak didapatinya di Belanda.
Namun itu tidak menghalangi Indira untuk tetap aktif. Tiga tahun pertama tinggal di Belanda, dia bergabung dengan sebuah grup gamelan Jawa di Amsterdam dan berlatih seminggu sekali. Dia juga sempat tampil di beberapa konser bersama grup gamelannya.
Indira juga sempat terlibat sebentar di sebuah project pendampingan pasien demensia di Amsterdam yang menggunakan metode suara dan menyanyi. Karena terlibat dalam project ini, saya tampil sebagai cameo dalam film dokumenter mengenai project ini dengan judul “Beyond Words”, yang tayang perdana pada April lalu di Amsterdam.
Saat ini, dia rutin berlatih olah raga bela diri Aikido dua kali seminggu. Dia pun menjadi guru Bahasa Indonesia di Indonesia House Amsterdam sekali seminggu sebagai bagian dari program reguler Atase Pendidikan dan Kebudayaan.

Di sela-sela kesibukannya itu, dia bersama sang suami, Luhur Bima atau teman-temannya, berjalan-jalan atau bersepeda, menjelajah Belanda maupun negara-negara di Eropa lainnya.
Memang traveling, hiking di alam, bersepeda, mengunjungi galeri dan museum, dan membaca buku merupakan hobi Indira sejak lama.
Untuk meraih gelar doktornya, disertasi penelitian Indira adalah mengenai asesmen dan intervensi masalah kesehatan mental terkait dengan trauma untuk masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa Indonesia.
Dia menggunakan perspektif psikotraumatologi, public mental health, dan e-mental health dalam penelitian. Ide awalnya adalah tingginya risiko masyarakat Indonesia mengalami peristiwa traumatis dan masalah kesehatan mental terkait dengan trauma.
Hanya saja, treatment gap di Indonesia sangat tinggi, banyak masyarakat, khususnya yang belum atau tidak mendapatkan layanan kesehatan mental karena berbagai alasan, seperti terbatasnya literasi kesehatan mental, belum meratanya layanan kesehatan mental, masalah finansial, aspek geografis, dan berbagai aspek lainnya.
“Saya terdorong untuk membuat sebuah produk intervensi sederhana yang tidak berbayar dan dapat diakses oleh masyarakat Indonesia secara bebas dari tempat manapun mereka berada, sekaligus memberikan edukasi yang akurat terkait dengan kesehatan mental dan trauma,” kata Indira.
Terlebih lagi di masa dimana banyak sekali informasi kesehatan mental yang tidak akurat beredar di internet maupun media sosial. Dia mengharapkan dengan adanya psikoedukasi berbasis website yang dia buat, dapat menjadi sumber informasi yang akurat bagi mahasiswa, meningkatkan literasi kesehatan mental dan mendorong akses ke layanan kesehatan mental, sekaligus dapat menjadi sarana pertolongan pertama bagi mereka untuk membantu diri sendiri saat mengalami masalah kesehatan mental.