Xavi dan Marc adalah dua pendaki terkuat dari group ini. Sehingga mereka akan melindungiku. Xavi akan memanggil namaku sebanyak 1.000 kali untuk menyemangati aku agar terus berjalan.
Selain itu, ketika kita sampai di Refuge du Goûter, aku harus tinggalkan ranselku dan isinya akan dibawa ke puncak Mont Blanc oleh Xavi dan Marc.

Itu siasat dari Xavi agar kami semua bisa mencapai puncak Mont Blanc.
Malam itu kami mencoba tidur tepat waktu. Jam 10 malam kami sudah terbaring di tempat tidur susun. Satu kamar ada sekitar 20 orang.
Hari Minggu, 18 Juni sekitar pukul 02.30, aku dibangunkan oleh Marc. “Ayo kita bersiap-siap!” kata Marc.
Dia mengaku tidak bisa tidur semalaman dan malah kemaren sore dia merasa ada beberapa symptom altitude sickness (gejala sakit ketinggian).
Ini bukan pertanda baik. Jam 3 pagi kita makan. Jam 3.30 kami sudah berada di luar, lengkap dengan segala peralatan yang dibutuhkan.
Headlamp, helm, kapak es, boots dengan crampons, hardshell, ransel dan semua perlengkapan lainnya.
We are going to climb the Grand Colouir! Kami harus siap fisik dan mental. Pendakian Grand Colouir ini dilakukan di malam hari dimana hanya ada penerangan dari headlamp.
Grand Colouir adalah tembok batu dan es vertikal yang rata-rata sudutnya 45 derajat. Ada beberapa bagian yang curam dan ada beberapa bagian yang landai.
Aku memakai tiga lapis baju yang aku rasakan begitu panas. Aku seharusnya hanya memakai dua lapis saja. Tetapi Xavi tidak mau berhenti dan dia melaju dengan sangat cepat.
Dalam waktu 2 – 2,5 jam kita sudah melewati Grand Colouir dan mencapai Refuge du Goûter. Di Refuge du Goûter kami tidak punya banyak waktu. Hanya sekitar 10 menit makan bars dan minum.
Aku simpan ranselku dan aku berikan beberapa peralatan ke Xavi dan Marc. Dari Refuge du Goûter aku tidak membawa ransel.

Refuge du Goûter sampai puncak jaraknya masih 1.000 meter pendakian, melalui es dan gletser.
Xavi selalu mendorong aku agar aku tetap semangat berjalan. Walaupun napasku sudah sangat tidak karuan, aku
tetap berjalan. Aku mengalami masalah dengan napasku. Napasku sangat tinggi (seperti hyperventilation).
Denyut jantungku pun sangat cepat (setelah pendakian selesai, ternyata detak jantungku berada di sekitar 150 – 170 kali per menit).
Sangat tidak nyaman. Di ketinggian sekitar 4000 – 5000 meter jumlah oksigen yang ada di udara hanya 50 persen dari jumlah oksigen di ketinggian 0 meter.
Aku berkonsentrasi penuh dengan langkah kakiku. Step by step. Aku tidak mau menyerah. Aku teringat pesan David Goggins: “Jika kamu pikir kamu sudah tidak punya energi lagi, itu berarti kamu hanya menggunakan 40 persen dari energimu. Kamu masih memiliki sisa 60 persen energi. So you can still go on”.
Aku bilang kepada Xavi: “Xavi, jika ini tempo yang kita lakukan, I can do this all day long!”.
Pernyataan ini bukan berarti aku sok kuat. Aku merasakan sangat berat sekali. Namun ternyata bukan hanya aku yang mengalami kesulitan. Marc, pendaki yang bersamaku, juga mengalami kesulitan.
Di ketinggian sekitar 4500 meter dia menghentikan langkahnya. Satu lututnya dia jatuhkan ke es, seakan-akan tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan.
Xavi teriak: “Teguh, ayo kita lanjutkan perjalanan!“ Aku teriak kembali: “It’s not me! It’s Marc!“ Xavi seperti tidak percaya kalau kali ini yang bermasalah adalah Marc.
Dia melirik ke belakang dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Marc lah yang sedang mengalami kesulitan untuk berdiri.
Setelah beberapa waktu dan cukup beristirahat, Marc kembali berdiri dan dia pun berjuang dengan sangat keras untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah pendakian, Marc bercerita bahwa dia belum pernah mengalami sesuatu yang lebih berat dari pendakian Mont Blanc ini.
Mencapai puncak!

Sekitar 200 meter sebelum puncak aku merasa sangat lelah karena kami sudah berjalan begitu lama.
Kemudian aku bilang kepada Xavi: “Xavi! Rest please!“ Xavi: “Taghu! Summit is only five minutes!“.
Ketika itu di belakang kami ada grup lain yang dipimpin oleh Manu (guide dari Italia).
Manu berkata: “Taghu! Kamu mau ke puncak atau turun untuk belanja? Fuck it. Aku mendidih dengan ejekan ini: “Fuck it! Let’s go Xavi! We go to the top!”
Akhirnya, kita pun mencapai puncak (perjalanan dari Refuge de Tête Rousse sampai puncak memakan waktu 6,5 jam).
Timku (Xavi, Marc dan aku) adalah tim pertama yang mencapai puncak. Xavi adalah guide yang mendorong anggota timnya untuk melakukan yang terbaik.
Sulit sekali menggambarkan betapa betapa senangnya hati ini ketika kami semua berhasil mencapai puncak.
Sebuah momen yang tidak pernah habis untuk diceritakan. Di posisiku, tak ada seorang pun yang bisa menahan air mata.
Semua menangis terharu. Semua kerja keras berlatih intensif selama satu tahun terbayar penuh.
Sebuah proses pendakian yang sangatlah berat diganjar dengan ganjaran yang berlipat-lipat.
Sungguh ini merupakan pencapaian terbesar yang pernah aku alami dalam sebuah ekspedisi. Pemandangan yang sangat indah bisa kita lihat di puncak gunung Mont Blanc.
Kami berpelukan dan juga mengambil foto bersama di puncak gunung Mont Blanc.
Namun kami tidak bisa berlama-lama berada di puncak karena suhu udara begitu dingin.
Puncak gunung Mont Blanc bukanlah tempat dimana kita bisa berdiam lama.
Jika kita tidak bergerak maka badan kita pun akan menjadi dingin. Jika kita bergerak, badan akan menjadi hangat. Kami pun turun dari puncak. Dalam waktu 2,5 jam kami pun sudah tiba di Refuge du Goûter.
Di sana aku bersin-bersin. Ingus pun mulai mengalir dari hidung. Aku terkena flu. Mungkin badan yang sudah sangat lelah mudah sekali tertular virus.
Aku sempatkan tidur karena perjalanan belum selesai.
Hidung berdarah-darah

Keesokan harinya, Senin 19 Juni 2023, kami bangun pukul 4 pagi untuk memulai perjalanan turun gunung.
Tiba-tiba dari hidungku keluar darah tanpa henti. Darah menetes mengenai hard shell. Aku coba seka darah dari hidung dengan sarung tanganku. Sarung tanganku memerah.
Aku bilang kepada Xavi: “Xavi, saya hanya bilang kalau hidungku terus berdarah, tapi nggak masalah. Mungkin aku akan mati suatu hari. Tapi bukan hari ini. Ayo kita turuni gunung ini!”
Perjalanan turun gunung memakan waktu selama 4,5 jam hingga mencapai stasiun stasiun Nid d’Aigle. Dari stasiun ini kami naik Tramway du Mont Blanc sampai ke Le Fayet, Chamonix.
Kami sempat beristirahat dulu di Refuge de Tête Rousse dan sarapan di sana.
Xavi meminta perhatian semuanya karena guide Uly (dari Jerman) akan memberikan beberapa patah kata.
Uly bilang bahwa prestasi yang kita semua lakukan hari ini perlu mendapat apresiasi.
Dia terus terang bahwa kemarin, ketika mengetahui bahwa kami semua novice climber (pendaki pemula yang sebelumnya
belum pernah mendaki gunung yang tinggi), dia tidak begitu senang mendegar hal ini.
Dia pikir kita tidak akan mencapai puncak. Namun dia salah, semua orang dari tim kita mencapai puncak Mont Blanc.
Uly pun menegaskan bahwa orang lain, sebelum mereka mencoba mendaki Mont Blanc, berlatih terlebih dulu dengan mendaki 10 gunung lainnya yang lebih rendah dari Mont Blanc.
Mereka tidak mulai dengan Mont Blanc (yang notabene gunung tertinggi di Eropa Barat).

Kendati demikian, Uly sekali lagi memberikan penghargaan dengan prestasi yang telah kita capai bersama. Aku pun tidak ingin melewatkan momen ini tanpa memberikan sepatah atau dua patah kata.
Aku berikan ucapan terima kasih kepada semua anggota tim, termasuk para guide. Terutama Xavi dan Marc yang bersedia membawa isi ranselku.
Aku pikir di awal, ketika aku tidak perlu membawa ransel dalam pendakian Mont Blanc, aku kira aku bisa lari sampai puncak.
Namun, walaupun tanpa ransel, pendakian Mont Blanc tetaplah sangat berat. Aku berterima kasih kepada Xavi yang telah mem-push aku beyond my limits.
Ternyata aku sadari aku jauh lebih kuat daripada yang aku pikirkan. Aku sudah punya “PR” yang akan aku bawa ke rumah. Aku akan latihan dengan lebih keras lagi agar di pendakian berikutnya menjadi lebih kuat lagi.
Di Chamonix kami merayakan kesuksesan pendakian ini dengan minum bir bersama. Bir ternikmat yang pernah aku rasakan seumur hidupku, walaupun bir ini Heineken, bir yang biasa aku minum sebelumnya.
Kami tutup ekspedisi Mont Blanc ini dengan makan siang bersama di restoran Pocoloco. Restoran burger yang konon terenak di seantero Chamonix.*** (Tamat)
Foto Headline: Di puncak Mont Blanc (4.810 mdpl). Ternyata aku lebih kuat dari yang aku pikirkan.
*) penulis adalah warga Indonesia yang tinggal di Belanda.