Pengalaman Seru Mendaki Mont Blanc Gunung Tertinggi di Eropa Barat

Guide Xavi agak tidak sabar. Dia menyemangatiku agar turun dengan lebih cepat. “Teguh, ayo coba kamu turun dengan lebih cepat. Ayo, lebih cepat lagi. Ayo, jangan sampai ketinggalan!”

Dia terus mencoba mendorong dan menyemangatiku dari belakang agar aku mempercepat langkahku turun gunung.

Dia bertanya: “Dari skala 0 sampai 8, dimana 8 capai sekali, kamu sekarang kasih nilai berapa ?“ Aku bilang: “Aku capai dengan skala 5.“

Thara, yang berada di belakangku, dalam bahasa Belanda berkomentar kepadaku (agar Xavi tidak mengerti karena Xavi orang Andorra yang tidak mengerti bahasa Belanda): “Jangan kamu kasih tahu dia secara jujur, nanti kamu disuruh lari“.

 

Dari refuge, kami langsung meneruskan perjalanan turun gunung hingga tempat parkir. (Foto: Dok Teguh)

Namun aku tidak bisa berbohong. Aku selalu diajarkan untuk secara jujur berbicara dari lubuk hati. Aku memang tidak capai skala 8. Aku masih punya energi cadangan. Kalau mau, aku masih bisa berlari.

Namun kehati-hatianku dalam melangkahkan kaki di trek menurun karena turun itu sangat berat untuk lutut.

Ada beberapa orang yang aku kenal dekat mengalami cedera lutut. Aku tidak mau mengalami hal yang sama. Itulah yang membuat aku agak berhati-hati dalam turun gunung.

Anggota tim seperti Marc, juga mencoba melindungiku dengan bilang bahwa kita lah yang menyewa guide itu.

Jangan mau disuruh untuk cepat-cepat turun karena hal itu bisa berisiko cedera. Kalau sudah cedera, siapa yang mau tanggung?

Di satu sisi aku sangat mengapresiasi Marc yang mencoba melindungiku, namun di sisi lainnya aku juga ingin melakukan yang terbaik dan mencoba untuk menempa diri, sampai sejauh mana aku kuat untuk melakukan alpinisme ini.

Trek turun itu sangat berat untuk lutut. (Foto: Dok Teguh)

Hari ini secara total ketinggian yang kami daki adalah 1.300 meter dan turun 2.100 meter. Aku bangga dengan prestasi ini.

Boi pun memberikan pujian kepadaku : “You did very well Teguh! Keep looking for your dreams!“

Pesan ini dia kirimkan lewat WhatsApp. Mendapatkan pujian seperti ini dari mountain guide yang berpengalaman seperti Boi, rasanya begitu membanggakan sekaligus memberikan dorongan semangat begitu besar kepadaku.

Malam itu aku cek jempol kakiku yang sakit, ternyata jempol kananku lecet dan melepuh. Blister, ada air mengembang.

Aku coba tangani masalah ini dengan compeed. Plester untuk lecet itu adalah solusi paling jitu untuk mengobati lecet berair.

Keesokan harinya, Ju’mat 16 Juni 2023, kami berlatih rock climbing di daerah Les Gaillands.

Xavi dan Boi memberikan training. Rock climbing ini diperlukan untuk mendaki dan menuruni Grand Colouir di Mont
Blanc.

Selesai rock climbing kami nongkrong santai dengan mencoba alat roll untuk memijat kaki bagian atas.

Di sela-sela acara memijat aku ngobrol dengan salah satu anggota tim bernama Bas. Bas adalah seorang podotherapist.

Podotherapist adalah ahli tentang segala hal mengenai kaki. Aku ingin tahu pendapat Bas mengenai cara aku berjalan karena aku merasa aku paling lambat di antara semuanya.

Bas berkata: “Menurut analisa aku, aku rasa kamu itu jauh lebih kuat daripada apa yang sudah kamu perlihatkan selama ini. You can do much more, you are stronger than you think. Di pendakian Gran Paradiso, kamu jalan terbungkuk-bungkuk karena kamu pikir kamu sudah hamper tidak bisa meneruskan perjalanan. Namun ketika kita beristirahat sebentar saja, ketika ditanya bagaimana kabarmu, kamu langsung dengan ceria menegakkan badanmu dan bilang, aku baik. Seketika itu pun wajahmu berubah dari kecapaian menjadi riang gembira. Itu menandakan bahwa kamu masih punya banyak tenaga. It’s all in your mind.“

Itu menandakan bahwa kamu masih punya banyak tenaga. It’s all in your mind. (Foto: Dok Teguh)

Mendengar komentar Bas, aku semakin yakin bahwa aku mampu melakukannya.

Sabtu pagi, 17 Juni 2023, semua anggota tim merasakan sesuatu yang mengganjal di perutnya. Sakit perut ini bukan diakibatkan makanan, melainkan tegang karena Sabtu pagi ini kami akan berangkat untuk memulai pendakian Mont Blanc.

Ketegangan ini sudah dirasakan sejak Jum’at sore. Di mobil dalam perjalanan ke tempat parkir Le Fayet, seorang anggota tim malah ada yang googling: “How to fake an injury?” (bagaimana cara berpura-pura cedera).

Agar dia tidak usah melakukan pendakian Mont Blanc dan juga tidak bisa disalahkan karena toh dia mengalami injury (cedera). Jadi bukan salahnya kalau dia tidak bisa ikut naik.

Dari tempat parkir, kami berjalan ke Stasiun Tramway du Mont Blanc. Kami naik Tramway du Mont Blanc sampai dengan stasiun Nid d’Aigle.

Dari stasiun ini kami hiking ke Refuge de Tête Rousse (3167 mdpl). Ketinggian yang kami tempuh 800 meter. Sesampainya di Refuge de Tête Rousse aku merasa senang.

Pasalnya rasa tegang pada pagi hari lenyap seketika. Yang ada hanyalah kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa.

Sesampainya di sana kami bisa memesan sup dan beli air mineral. Aku sempat bertanya kepada salah seorang pekerja Refuge de Tête Rousse, apakah mereka pernah melihat orang Indonesia sampai ke refuge ini.

Dia bilang: “Kamu adalah orang Indonesia pertama yang pernah aku lihat di Refuge Tête Rousse”. Wow!

Malam itu kami dibagi rope-group (kelompok dalam satu ikatan tali). Aku ditempatkan Bersama rope-group Marc dan Xavi. Alasannya adalah karena aku peserta group terlemah, maka aku ditempatkan bersama dua pendaki terkuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :