Penulis: Sita Aulliya
Kabarbelanda.com – MAKAN tanpa nasi belumlah disebut makan. Itu ungkapan yang berlaku di Indonesia. Tapi bagi saya, warga Indonesia yang menetap di Belanda, makan tanpa nasi bukan berarti dunia sudah berakhir.
Namun demikian, nasi yang sejak dulu menjadi makanan pokokku sehari-hari, tak bisa serta merta diganti dengan kentang atau roti, seperti kebiasaan suami, yang asli orang Belanda.

Bagaimana solusinya?
Perlahan-lahan menu makanan saya ganti. Dengan menggunakan bahan yang sama, maka saya bisa mendapatkan cita rasa yang berbeda.
Misalnya buncis. Kebiasaan orang Belanda, buncis cuma direbus kemudian disiram saus. Itu kuubah dengan menambahkan tempe dan kecap serta bumbu ala Indonesia. Jadilah oseng buncis tempe.

Salade, yang dulunya hanya disiram minyak zaitun sama balsamico azijn, kuubah dengan tambahan gorengan tahu tempe, rebusan telur, dan aneka sayuran, juga saus kacang. Jadilah gado-gado atau ketoprak.
Spaghetti, dengan sayuran dan saus Italiaans, yang menurut lidahku rasanya tidak karuan, kuubah dengan tambahan bumbu rempah ala Indonesia dengan sayuran yang berbeda. Tak lupa daging ayam dan kecap. Jadilah bakmi Jawa dengan cita rasa Nusantara.
Beef steak, daging sapi yang hanya dipanggang dengan sedikit minyak, kuubah menjadi hidangan segala zaman… Rendang!

Sup, yang biasanya hanya kentang atau labu yang diblender dengan tambahan garam, merica bawang dan kookroom, kuubah menjadi soto ayam komplit dengan sayuran dan perkedel kentang.
Telur yang biasanya cuma direbus atau digoreng, kuubah menjadi telur balado atau sambal goreng telur.
Dan masih banyak lagi resep-resep masakan ala dapurku yang perlahan-lahan mulai mengubah indera pengecap suami dan orang-orang yang kucinta. Dan satu lagi yang tak pernah ketinggalan: Krupuk!
Apakah mereka doyan? Tentu saja, doyan sekali!

Apakah kemudian tiap hari saya mesti memasak makanan Indonesia? Tentu tidak, karena hampir setiap hari saya bertanya, “kalian mau makan apa?” Dan jawabnya hampir 90% selalu masakan Indonesia.