Lidah Belanda mereka sudah terbiasa dengan lezatnya rempah-rempah Indonesia.
Juga soal pesta. Tiap kali ada pesta di rumah, keluarga dan kenalan hampir dipastikan datang untuk menghadirinya.

Kenapa? Karena hidangan yang kami suguhkan bukan adat mereka, melainkan prasmanan menu Indonesia dengan aneka cemilan di atas meja.
Lumpia, dadar jagung, mendoan, dadar gulung, speekoek, dan kue lapis menjadi makanan ringan terfavorit mereka dibanding potongan keju ataupun worst dan asinan olijf dengan tusuk gigi di atasnya.
Sebagai hidangan pencuci mulut, seringkali saya menyediakan es buah atau dawet, di samping potongan buah segar, seperti semangka dan melon.

Apakah mereka senang? Apakah mereka doyan?
Oooh… senang sekali. Doyan sekali.
Jadi para tamu kami pun terbiasa dengan menu Indonesia.
Sebaliknya, selama di Belanda saya menjadi terbiasa mengikuti kebiasaan bagus mereka. Seperti berkunjung ke rumah seseorang, ke dokter, mengurus administrasi dengan kantor apapun, harus diawali dengan membuat janji terlebih dahulu. Tidak bisa lagi datang seenaknya seperti kebiasaan di Tanah Air dahulu.
Selain itu, menjaga kebersihan juga menjadi satu kebiasaan yang otomatis saya lakukan. Pasalnya, orang Belanda sangat tertib dan peduli dengan lingkungan.
Kendati hanya bungkus permen atau sepotong kecil kulit jeruk dan pisang, selalu saya usahakan untuk dibuang pada tempatnya. Terlebih tempat sampah banyak ditemukan di mana saja.
Saya juga sekarang harus bisa tepat waktu, bukan “jam karet.”
Kebiasaan bagus yang satu ini benar-benar tidak bisa dianggap remeh, karena semua orang punya kesibukan. Jadi datang tepat pada waktunya adalah sesuatu yang sudah menjadi budaya bagi orang Belanda.
Selain itu, kebiasaan untuk selalu mengucapkan alstublieft (tolong), sorry (maaf), dan dankjewel (terima kasih) dalam berbagai situasi adalah hal yang sudah mereka ajarkan sejak dini.
Jadi selain mengubah, sayapun juga berubah. Begitulah kalau kita mengambil sisi positif dari suatu budaya.
Editor: Tian Arief