Eugenie Lolong, salah seorang peserta, mengaku semangat mengikuti acara ini. “Apalagi kami sudah lama terkurung karena pandemi. Kemana-mana harus pakai masker dan nggak bisa pergi ke mana-mana. Ya kangen lah,” kata Eugenie sambil tertawa senang.

Untuk berlayar selama 8,5 jam, setiap penumpang harus merogoh kocek sebesar 55 euro atau 907 ribu rupiah (kurs 1 euro= Rp 16.500). Harga tiket sudah termasuk minuman panas, seperti kopi dan teh, makanan ringan, kue taart, dan makan siang. Ini tidak terlalu mahal untuk ukuran Belanda.

Di atas kapal, tampak wajah-wajah ceria para peserta. Mereka tertawa dan saling becanda. Di kapal mereka memilih sendiri tempat duduk masing-masing.

Menurut Berta, sudah tradisi setiap acara Esa Genang selalu diawali dengan doa bersama. Lalu ada ibadah kecil dan kata-kata ucapan syukur dengan berdirinya perkumpulan ini.

“Sambil menunggu makan siang kami ngobrol dan nyanyi bersama sambil menikmati minuman hangat dan snack. Sesekali diselingi dansa poco-poco dan musik lainnya. Sayangnya, pemilik kapal tidak mengizinkan kami membawa alat musik. Jadi hanya playback (musik lewat speaker portable dicolok USB).

Kapal yang mereka tumpangi ini bertingkat dua. “Jadi bagian bawah sudah penuh dengan penumpang dari perkumpulan Esa Genang. Sedangkan bagian atas untuk penumpang umum. Tapi di saat kami menari dan bernyanyi, penumpang lainnya, bule-bule Belanda malah ada yang ikutan join. Jadinya tambah meriah,” kata Bertha sambil terkekeh.

“Semua peserta bersemangat dari awal keberangkatan sampai kembali ke rumah masing-masing. Semuanya senang karena kan sejak COVID, kami jarang ketemu, dan lagi pula sekarang tidak perlu lagi pakai masker. Jadi kami semua besa bernyanyi, duduk berdekatan. Pokoknya bebas dan lepas. Seperti sebelum ada COVID,” ujar Bertha menutup pembicaraan.
Editor: Tian Arief