Menurut UU No.62/1958, maka:
- Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang sah maka otomatis mengikuti warganegara ayahnya
- Anak-anak yang lahir diluar perkawinan campuran yang sah maka otomatis mengikuti warganegara ibunya
Kesulitan yang muncul bagi anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, pada nomor 2 di atas adalah ketika mereka ingin mengikuti kewarganegaraan asing ayahnya namun sistem hukum kewarganegaraan di Indonesia tidak memungkinkannya. Padahal si anak memerlukannya untuk keperluan studi maupun masa depannya.
Banyak pula anak yang lahir dari perkawinan campur yang sah dengan ayah WNA, yang menurut UU No. 62/1958 seharusnya berstatus WNA, dalam kenyataannya mereka menjadi WNI mengikuti ibunya. Ataupun orangtua yang dahulunya melakukan pernikahan siri (pernikahan secara agama Islam tanpa mengesahkannya di Kantor Urusan Agama/KUA) dan kemudian melakukan isbat nikah sehingga sah secara negara.
Yang terakhir ini memunculkan kasus baru. Dulunya si anak WNI (ketika status pernikahan siri), kemudian menjadi WNA (ketika pernikahan dilakukan isbat nikah). Apa yang menjadi hak dan kewajiban anak? Rumit memang.
Kerumitan terjadi lantaran edukasi tentang dwi kewarganegaraan kurang tersebar dengan baik pada saat itu. Media Sosial belum sepopuler sekarang, dimana smartphone dimiliki banyak orang. Akibanya kesempatan mendaftarkan anak-anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006 pada Kementerian Hukum dan HAM hingga batas waktu tahun 2010 untuk mendapatkan status kewarganegaraan ganda terlewatkan begitu saja.

Selain itu, alasan lain yang tidak kalah penting adalah banyak orangtua dari perkawinan campuran “buta hukum”. Kebanyakan para orangtua ini menganggap anak-anak mereka otomatis memiliki dwi kewarganegaraan ketika dilahirkan.
Inilah yang harus terus disosialisasikan. Bahwa dwi kewarganegaraan anak tidaklah otomatis terjadi. Bagi anak-anak yang lahir dalam naungan UU No. 12/2006, asalkan memenuhi persyaratan yang ada mereka memang memiliki hak atas dwi kewarganegaraan. Beda cerita dengan anak-anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006. Mereka tidak memiliki pilihan. Semua serba rumit secara hukum negara.
Apalagi sistem hukum Indonesia menganut azas Ius Sanguinis dan Belanda, misalnya, menganut azas Ius Soli. Dua sistem Hukum yang bertolak belakang. Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara. Sedangkan Ius Soli (bahasa Latin bagi “hak untuk wilayah”) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Kita hanya bisa berharap masalah ini ada solusinya. Berharap kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, agar bisa memberikan mereka solusi dengan memberinya lagi kesempatan. Pertimbangannya adalah perikemanusiaan, yaitu masa depan anak-anak ini. Tanpa embel-embel yang lain.
Editor: Tian Arief