Nasi Bakar OTW Viral di Belanda, Lalu “Diekspor” ke Prancis (1)

Di luar dugaannya, pelanggan Nasi Bakar OTW ternyata bukan warga Indonesia, tapi juga orang Belanda asli. Di antara para pelanggan itu ada yang menyarankan supaya Ratih menawarkan nasi bakar ini ke komunitas warga Indonesia di Belanda yang tergabung di grup Facebook (FB). Namanya ILH (Indonesian Living Holland).

“Ternyata betul. Sambutannya cukup ramai. Banyak yang pesan. Kebetulan suami kerja di Utrecht, jadi saya titip ke dia supaya membawakan pesanan pelanggan yang order via medsos tadi. Termasuk juga banyak kolega suami loh yang pesen. Padahal mereka orang Belanda,” tuturnya.

Dari situ, nasi bakar Ratih mulai terkenal. Ia bahkan sampai kewalahan melayani order dari para pelanggannya. Dari kelompok arisan sampai ulang tahun keluarga, bahkan sampai acara kumpulan warga Indonesia yang berjumlah ratusan orang.

“Sebenarnya saya nggak suka ikut grup komunitas. Saya nggak ada waktu karena harus mengurus dua anak dan membuat pesanan orang-orang aja. Waktu saya sudah habis tersita,” kata Ratih sambil tersenyum.

Dia memang sudah berencana pada 2018 mulai berjualan online. Di Belanda, menerima pesanan secara online harus ada izin usaha resmi. Negeri Kincir Angin itu sangat ketat soal perizinan usaha, karena berkaitan dengan pajak yang harus disetor ke kas negara.

Mulai menawarkan ke komunitas

Ratih selalu membeli bahan makanan di toko Asia dalam jumlah besar. Bahkan ia pernah memasak sampai 70 kg ayam untuk memenuhi permintaan pelanggan. (Yuke Mayaratih)

Setelah  mengantongi izin usaha online, pada 8 Maret 2018 Ratih mulai bergabung dengan komunitas ILH. Sejak itu dia iseng-iseng mempromosikan nasi bakar seharga 5 euro per bungkus (1 euro sekitar Rp 17.000).

Di luar ekspektasinya, banyak anggota komunitas yang langsung memesan. Ada yang langsung pesan lima bungkus, bahkan ada pesan dalam jumlah banyak untuk pesta: 150 porsi.

Sejak menjadi anggota komunitas ILH, Ratih rajin membuat pengumuman. Misalnya Sabtu depan akan berada di kota Rotterdam. Atau hari Minggu dia akan ke Amsterdam, Breda, atau Den Haag. Biasanya Ratih membuat janji dengan pelanggannya di depan Stasiun Kereta Api dari kota-kota tersebut. Jadi tiap akhir pekan, nasi bakar Ratih ini didrop di kota-kota berbeda, tergantung pemesanan terbanyak. Nah, yang lainnya tinggal mendatangi lokasi terdekat.

Menurut Ratih, suaminya setiap minggu minimal membawa 150 sampai 200 porsi nasi bakar. Itu pun setelah menolak banyak pesanan karena keterbatasan tenaga. Lama-lama, pemesan nasi bakar bukan perorangan lagi, tetapi pemilik toko (penjual makanan Asia take away). Jumlah pesanan bisa mencapai ratusan porsi. Pelanggan lainnya adalah komunitas. Maklum di Belanda banyak sekali komunitas Indonesia.

“Ketua komunitas misalnya, saat bikin acara, sekali pesan bisa 100 sampai 150 porsi. Setelah itu, saya nggak bisa lagi melayani pesanan perorangan. Jadi hanya melayani pesen yang di atas 100 porsi. Biasanya, ketua komunitasnya langsung pesen via inbox (FB),” kata perempuan periang ini sambil tertawa. (Bersambung)

“Diekspor” ke Prancis…

Editor: Tian Arief

Comments are closed.