Berpuasa di Belanda: Lupa Lagi Puasa, Ngopi Siang-siang Karena Ditawari Teman

Rasa Persaudaraan

Apa yang istimewa dari menjalankan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia? Bagi Adi rasa kekeluargaan, seperti saling berkunjung, yang tidak tergantikan. “Kalau di rumah mertua, kita semua satu keluarga saling membangunkan untuk melaksanakan makan sahur bareng-bareng. Lalu shalat berjamaah. Seru banget deh pokoknya. Apalagi ada suara adzan subuh, dan adzan maghrib yang paling ditunggu-tunggu,” ujarnya sambil terkekeh.

Saat melaksanakan shalat taraweh saat ini, bagi Adi adalah saat paling menyedihkan. Pasalnya, Adi hampir nggak mungkin melaksanakan taraweh berjamaah di masjid atau mushalla, seusai shalat isya. Bukan saja jumlah jamaah yang dibatasi, tapi juga karena adanya kebijakan avondklok (jam malam), yang diberlakukan pemerintah Belanda guna pengamanan pandemi COVID-19. Kebijakan itu membatasi warga agar tidak berada di luar rumah pada jam 22.00 ke atas hingga jam 05.30 pagi. “Kebijakan ini paling tidak berlaku sampai 21 April mendatang. Dan sambil menunggu evaluasi apakah akan dihentikan atau justru diperpanjang,” jelas Adi.

Saat Ramadhan, biasanya banyak undangan pengajian atau ceramah online. Namun Adi mengaku kurang tertarik mengikutinya, karena nggak tersambung secara emosi. “Rasanya gimana gitu. Yaa… beda banget deh. Apa saya belum terbiasa aja. Tapi liat nanti lah. Mungkin kalau saya juga bingung nggak tau mau ngapain, daripada nonton TV melulu, sesekali ikutan ceramah online juga,” kata Adi.

Adi mengatakan, beberapa jamaah PPME Al Hikmah di Den Haag juga mengadakan taraweh secara online. Maksudnya, jamaah shalat di tempat masing-masing, dengan imam dari tempat lain yang dipantau lewat tayangan video. Tapi Adi merasa kurang sreg dengan taraweh online.

Namun sebelum pindah ke rumahnya sekarang, Adi mengaku sempat menikmati taraweh berjamaah di masjid. “Waktu itu belum ada COVID, dan jarak dari rumah ke masjid juga dekat. Jadi saya sering menghadiri tarawih bersama umat Islam lainnya. Ada yang dari Maroko, Turki, dan dari negara lainnya. Tapi mayoritas memang orang Indonesia sih. Makanya, ada silaturahminya sekalian. Tapi sekarang ini, rumah kami jauh dari masjid. Dan kalau tarawih kan mulainya jam 22.30 sampai 23.00. Jadi saya sampai rumah jam 1 dinihari. Jadi saya hampir tak pernah lagi taraweh. Apalagi sekarang ada kebijakan jam malam,” tuturnya.

Menahan lapar 17 jam sanggup, tapi menahan haus, agak berat. (Dok Pribadi)

Godaan di Siang Hari

Godaan terhadap orang yang berpuasa di Belanda, menurut Adi, jauh lebih besar daripada di Indonesia. Itu dimungkinkan karena mayoritas orang di Belanda tidak berpuasa. Kadang-kadang Adi ditawari minum atau ngopi. “Kadang saya lupa juga. Ikut ngopi, padahal sedang puasa,” kata Adi sambil ketawa. Lamanya puasa 17 jam juga tak menjadi masalah bagi Adi. Hanya menahan haus yang sedikit berat buatnya.

Saat sahur, kalau di Indonesia bisanya Adi dibangunkan oleh bunyi-bunyian, yang membuatnya mau nggak mau harus bangun. Selain speaker masjid yang membangunkan sahur, ada sekelompok pemuda yang berkeliling membunyikan kentongan atau memukul-mukul tiang listrik sambil berteriak “Sahur! Sahur!”. Juga orang yang tinggal satu rumah yang membangunkannya.

Nah kalau di Belanda, satu-satunya andalan hanya alarm yang disetel pada jam sahur. “Kalau alarmnya nggak bunyi, atau saking lelapnya tidur sampai tidak mendengar alarm berbunyi, ya sudah… kita semua nggak makan sahur,” kata Adi. Untuk itu, biar lebih afdhal dia biasanya menyetel alarm dari dua handphone berbeda atau jam wekker.

Adi mengharapkan, di bulan suci Ramadhan ini keadaan semakin baik, terutama bekaitan dengan pandemi. Semua orang sehat dan sudah mendapat vaksin. Paling tidak saat Lebaran nanti warga sudah bisa merasakan suasana Lebaran seperti yang seharusnya. “Kita boleh shalat Idul Fitri secara fisik di mesjid. Di situ kita bisa saling bersalaman, berpelukan secara fisik, serta saling bersilaturahmi seperti keadaan normal sebelum COVID,” kata Adi.

Editor: Tian Arief