Berpuasa di Belanda: Lupa Lagi Puasa, Ngopi Siang-siang Karena Ditawari Teman

Penulis: Yuke Mayaratih

Kabarbelanda.com, Deventer – Pada bulan Ramadhan ini, umat Islam sedunia melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Berpuasa di Indonesia, yang merupakan negeri tropis berpenduduk mayoritas Muslim, tentu tidak terlalu berat. Selain waktu berpuasanya tidak terlalu panjang (sekitar 13 jam), juga suasana bulan puasanya terasa sekali, karena mayoritas orang di sini berpuasa. Bagaimana dengan pengalaman WNI di Belanda yang merupakan negeri dengan empat musim?

Adi Zitter, warga Indonesia yang bermukim di Belanda bersama keluarganya, mengaku kangen dengan suasana ibadah puasa di Tanah Air. “Suasana berpuasa di Belanda jauh berbeda dengan di Indonesia, yang setiap sahur dibangunkan takmir masjid lewat pengeras suara. Lalu ada suara adzan berkumandang indah di waktu subuh. Suasana seperti itu yang bikin saya kangen,” kata Adi kepada Kabarbelanda.com, lewat sambungan telepon video, Senin (12/4/21).

Bapak tiga anak berusia 38 tahun itu merasa tidak repot menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, dengan durasi sekitar 17 jam sehari. Adi sudah punya rutinitas tersendiri saat menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya. Sebelum memasuki Ramadhan, Adi dan Sovhie, istrinya yang asli dari Bandung, sudah menyimpan lauk pauk, seperti bakso atau cireng (cemilan khas Bandung) di dalam freezer. Saat sahur atau buka puasa, makanan cireng simpanannya tinggal diambil dari freezer dan digoreng, sedangkan dan bakso diberi kuah dan dipanaskan.

Untuk takjil atau makanan kecil untuk berbuka, Adi memilih buah kurma, yang dibelinya dari toko turki atau pasar seharga 2,75 euro (sekitar Rp 50 ribu) sebungkus. Untuk stok satu minggu, Adi, yang merupakan fotografer itu membeli tiga bungkus kurma.

Adi mengaku bangga dengan anak sulungnya, Putra Zitter, 15 tahun, yang sudah bisa menjalankan ibadah secara penuh. Sedangkan kedua adiknya, Nandika (5 tahun) dan Pangestu (3 tahun), masih dalam taraf belajar atau diperkenalkan dengan ibadah puasa.

Adi Zitter, berbagi peran dengan istri. (Dok Pribadi)

Berbagi Peran dengan Istri

Sebagai keluarga penggemar berat bakso, Adi membeli bakso dari temannya sesama orang Indonesia yang membuat bakso sendiri. Bakso menjadi pilihan, karena selain bisa mengobati rasa rindunya pada Tanah Air, juga mudah disimpan di freezer. Makanan hangat berkuah ini dianggapnya paling pas untuk puasa, apalagi di musim dingin. “Tinggal siapkan mie atau bihun, bikin kuah bakso, lalu menyantapnya panas-panas,” kata Adi sambil tertawa.

Layaknya keluarga muda di perantauan, Adi dan Sovhie bahu membahu mengerjakan tugas rumahtangga mereka, termasuk soal memasak. Adi kebagian memasak yang “berat-berat”, seperti membuat rendang dan opor ayam. Sedangkan Sovhie membuat makanan untuk takjil, seperti bubur sumsum dan kue-kue, juga menanak nasi.

Untuk berbuka puasa, Adi menyiapkannya sebisa mungkin seperti di Indonesia. “Biasanya kami mengolah singkong, ubi jalar, dan pisang untuk kolak. Kadang-kadang istri saya juga membuat bubur sumsum. Pokoknya semua menu dan jajanan khas Ramadhan serba Indonesia,” tuturnya.

Adi merasa beruntung karena di Belanda bahan makanan khas Indonesia hampir semua tersedia. Bahkan daun kelapa untuk membuat bungkus ketupat dengan cara dianyam, juga ada. Biasanya Adi membelinya di toko Asia atau toko Indonesia, saat mendekati Hari Raya Idul Fitri. Terkadang daun kelapanya sudah tidak hijau segar lagi, melainkan agak kecoklatan karena sudah terlalu lama tersimpan, tapi Adi tetap membelinya, hitung-hitung sebagai pengobat rindu.

Anak-anak dan istri Adi. (Dok Pribadi)

Rasa Persaudaraan

Apa yang istimewa dari menjalankan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia? Bagi Adi rasa kekeluargaan, seperti saling berkunjung, yang tidak tergantikan. “Kalau di rumah mertua, kita semua satu keluarga saling membangunkan untuk melaksanakan makan sahur bareng-bareng. Lalu shalat berjamaah. Seru banget deh pokoknya. Apalagi ada suara adzan subuh, dan adzan maghrib yang paling ditunggu-tunggu,” ujarnya sambil terkekeh.

Saat melaksanakan shalat taraweh saat ini, bagi Adi adalah saat paling menyedihkan. Pasalnya, Adi hampir nggak mungkin melaksanakan taraweh berjamaah di masjid atau mushalla, seusai shalat isya. Bukan saja jumlah jamaah yang dibatasi, tapi juga karena adanya kebijakan avondklok (jam malam), yang diberlakukan pemerintah Belanda guna pengamanan pandemi COVID-19. Kebijakan itu membatasi warga agar tidak berada di luar rumah pada jam 22.00 ke atas hingga jam 05.30 pagi. “Kebijakan ini paling tidak berlaku sampai 21 April mendatang. Dan sambil menunggu evaluasi apakah akan dihentikan atau justru diperpanjang,” jelas Adi.

Saat Ramadhan, biasanya banyak undangan pengajian atau ceramah online. Namun Adi mengaku kurang tertarik mengikutinya, karena nggak tersambung secara emosi. “Rasanya gimana gitu. Yaa… beda banget deh. Apa saya belum terbiasa aja. Tapi liat nanti lah. Mungkin kalau saya juga bingung nggak tau mau ngapain, daripada nonton TV melulu, sesekali ikutan ceramah online juga,” kata Adi.

Adi mengatakan, beberapa jamaah PPME Al Hikmah di Den Haag juga mengadakan taraweh secara online. Maksudnya, jamaah shalat di tempat masing-masing, dengan imam dari tempat lain yang dipantau lewat tayangan video. Tapi Adi merasa kurang sreg dengan taraweh online.

Namun sebelum pindah ke rumahnya sekarang, Adi mengaku sempat menikmati taraweh berjamaah di masjid. “Waktu itu belum ada COVID, dan jarak dari rumah ke masjid juga dekat. Jadi saya sering menghadiri tarawih bersama umat Islam lainnya. Ada yang dari Maroko, Turki, dan dari negara lainnya. Tapi mayoritas memang orang Indonesia sih. Makanya, ada silaturahminya sekalian. Tapi sekarang ini, rumah kami jauh dari masjid. Dan kalau tarawih kan mulainya jam 22.30 sampai 23.00. Jadi saya sampai rumah jam 1 dinihari. Jadi saya hampir tak pernah lagi taraweh. Apalagi sekarang ada kebijakan jam malam,” tuturnya.

Menahan lapar 17 jam sanggup, tapi menahan haus, agak berat. (Dok Pribadi)

Godaan di Siang Hari

Godaan terhadap orang yang berpuasa di Belanda, menurut Adi, jauh lebih besar daripada di Indonesia. Itu dimungkinkan karena mayoritas orang di Belanda tidak berpuasa. Kadang-kadang Adi ditawari minum atau ngopi. “Kadang saya lupa juga. Ikut ngopi, padahal sedang puasa,” kata Adi sambil ketawa. Lamanya puasa 17 jam juga tak menjadi masalah bagi Adi. Hanya menahan haus yang sedikit berat buatnya.

Saat sahur, kalau di Indonesia bisanya Adi dibangunkan oleh bunyi-bunyian, yang membuatnya mau nggak mau harus bangun. Selain speaker masjid yang membangunkan sahur, ada sekelompok pemuda yang berkeliling membunyikan kentongan atau memukul-mukul tiang listrik sambil berteriak “Sahur! Sahur!”. Juga orang yang tinggal satu rumah yang membangunkannya.

Nah kalau di Belanda, satu-satunya andalan hanya alarm yang disetel pada jam sahur. “Kalau alarmnya nggak bunyi, atau saking lelapnya tidur sampai tidak mendengar alarm berbunyi, ya sudah… kita semua nggak makan sahur,” kata Adi. Untuk itu, biar lebih afdhal dia biasanya menyetel alarm dari dua handphone berbeda atau jam wekker.

Adi mengharapkan, di bulan suci Ramadhan ini keadaan semakin baik, terutama bekaitan dengan pandemi. Semua orang sehat dan sudah mendapat vaksin. Paling tidak saat Lebaran nanti warga sudah bisa merasakan suasana Lebaran seperti yang seharusnya. “Kita boleh shalat Idul Fitri secara fisik di mesjid. Di situ kita bisa saling bersalaman, berpelukan secara fisik, serta saling bersilaturahmi seperti keadaan normal sebelum COVID,” kata Adi.

Editor: Tian Arief

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :