Penulis: Yuke Mayaratih
Wilp, Kabarbelanda.com –Suasana hangat terasa di Indo Garden, Wilp, ketika tak kurang dari 200 warga Belanda berdarah Indonesia berkumpul untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.
Dalam acara bertajuk Freedom Meal atau Jamuan Kebebasan, mereka menikmati hidangan khas Nusantara sembari mengenang perjalanan panjang keluarga yang pernah merasakan pahit getir masa kolonial Jepang.
Meski suhu musim panas mencapai 30 derajat Celsius, pengunjung tampak antusias. Beberapa sudah datang sejak pukul 13.30, jauh sebelum acara resmi dibuka. Kipas tangan hingga kipas mini genggam menjadi teman setia di tengah teriknya matahari.

Antusiasme warga begitu tinggi. Hanya dalam hitungan hari setelah informasi disebarkan, pendaftaran Freedom Meal langsung penuh. Sebanyak 200 kursi yang tersedia ludes terisi, meninggalkan sebagian warga kecewa karena tak sempat mendaftar.
Kabar dari mulut ke mulut di antara komunitas Indo memang menyebar begitu cepat. Wajar jika acara ini menjadi rebutan. Selain harga makanan yang terjangkau, suasana kekeluargaan, musik, dan kebersamaan menjadi daya tarik utamanya.
Hidangan Nusantara dan Suasana Kekeluargaan
Jamuan kebebasan ini dimulai pukul 13.45 dengan hidangan khas Indonesia. Menu terdiri dari nasi putih, telur dadar, kering tempe, sambal goreng buncis, acar ketimun, semur daging sapi, serta dua tusuk sate. Tak lupa sambal, kerupuk, dan semangkuk besar nasi putih pelengkap turut disajikan di meja.

Bagi banyak keluarga Indo, momen ini lebih dari sekadar jamuan. Cerita tentang orang tua yang pernah ditahan di kamp Jepang kembali terucap, menyatukan pengalaman antar generasi. Ada pula reuni keluarga dari berbagai kota di Belanda.
“Di sini saya bisa mendengar kisah orang tua yang mengalami nasib serupa,” ujar Jerry Schalk, salah satu pengunjung. “Selain itu, saya juga bisa bertemu dengan kenalan sesama Indo.”
Arthur Laurens menambahkan dengan tawa, “Kebersamaan selalu menyenangkan, apalagi ditambah hidangan mewah dengan harga murah.”
Sambutan Hangat dan Pesan Kebangsaan
Acara dibuka pemilik Indo Garden, Ernst de Leau. Ia mengingatkan, delapan dekade lalu puluhan ribu orang Belanda, Indo-Eropa, Maluku Selatan, dan Tionghoa harus meninggalkan Hindia Belanda. “Itu perpisahan yang menyakitkan dari negeri tempat mereka lahir dan dibesarkan,” ujarnya.

Kini, melalui jamuan ini, Indo Garden bersama Pemerintah Kota Voorst, Yayasan Indisch Erfgoed, Yayasan Pelita, dan Suara Gembira Indonesian Catering & Events berupaya mempererat hubungan lintas generasi.
Wali Kota Voorst, Paula Jorritsma-Verkade, turut memberikan sambutan. Ia menekankan pentingnya mengenang masa lalu tanpa melupakan tanggung jawab membangun masa depan. “Kita tidak dapat mengubah masa lalu, tetapi kita dapat mengubah masa depan,” katanya.
Walikota Paula mengaku terharu melihat bagaimana perbedaan justru menyatukan semua orang di hari bersejarah itu. “Meskipun kita berbeda warna kulit, latar belakang, dan bahkan nasionalisme, hari ini kita bisa duduk bersama. Kita semua menyatu di sini,” ujarnya disambut tepuk tangan.
Mengingat Masa Lalu, Membentuk Masa Depan

Paula menekankan, masa lalu memang tak bisa diubah. Tetapi masa depan masih bisa dibentuk. Itulah sebabnya ia menganggap tanggal 15 Agustus sangat penting bagi Belanda, sama seperti 4 Mei (Hari Peringatan Nasional), 5 Mei (Hari Pembebasan), dan 1 Juli (Hari Penghapusan Perbudakan).
“Di negeri kecil ini ada 1 sampai 2 juta orang Belanda dengan akar kolonial. Karena itu sangat penting jika kita terus mengenang tanggal-tanggal bersejarah ini,” katanya.