16 Tahun ILH: Lebih dari Sekadar Komunitas Diaspora Indonesia di Belanda

Penulis: Yuke Mayaratih

Reeuwijk, KabarBelanda.com – Suasana akrab  dan penuh kehangatan khas Indonesia langsung terasa saat tiba di pintu masuk Gedung Zaal De Brug. Aroma rempah dan gelak tawa langsung menyambut siapa pun yang datang.

Sabtu siang, 28 Juni 2025, kota kecil Reeuwijk yang terletak di antara Rotterdam dan Den Haag itu menjadi semacam “kampung halaman sementara” bagi sekitar 170 warga Indonesia yang tinggal di Belanda.

Mereka datang merayakan ulang tahun ke-16 komunitas Indonesians Living in Holland (ILH), dalam suasana penuh kehangatan khas Nusantara.

Musim panas yang sedang memuncak, dengan suhu mencapai 26 derajat Celsius, menambah semarak. Hampir semua tamu mengenakan busana bercorak bunga, semangat tropis dibawa hingga ke jantung Eropa.

“Setiap kali ILH bikin acara, pasti ramai, gezellig,” kata Pien Liem Purba, pendiri ILH, menggunakan istilah Belanda yang berarti hangat dan menyenangkan. Ia menyebutkan ada banyak wajah baru yang bergabung tahun ini. “Senang melihat orang-orang saling kenalan, berbagi cerita, seperti keluarga besar,” ujarnya.

Para penjual makanan yang memeriahkan HUT ke-16 ILH. (Foto: Yuke Mayaratih)

Lebih dari Sekadar Acara Makan

Tampaknya sudah jadi tradisi: acara dijadwalkan mulai pukul 12.00, namun baru dimulai sekitar pukul 13.00. Sebagian besar tamu tak ambil pusing. Begitu datang, mereka langsung mengerubungi stan makanan.

Meja-meja penuh sajian khas Indonesia yang jarang ditemui, bahkan di pasar malam Belanda: nasi Padang racikan Mutty Marshudi, siomay, pempek, otak-otak, rujak cingur lengkap dengan ulekan besar, hingga jajan pasar seperti panada, ketan serundeng, dan lemper.

Harga mengikuti standar Eropa. Sepotong jajan pasar tiga euro, Nasi Padang komplit 16 euro, dan porsi batagor atau otak-otak dibanderol delapan euro.

Meski begitu, tak satu pun pengunjung terdengar mengeluh. “Yang penting rasa rindu pada tanah air bisa terobati,” ujar seorang pengunjung sambil menenteng risoles dan lupis.

Dari Rujak Cingur hingga Film Perbudakan

Thelma Tombeng, generasi kedua diaspora Indonesia yang lahir dan besar di Belanda, datang karena penasaran. Meski tak fasih berbahasa Indonesia, ia mengaku bangga bisa memasak makanan khas Indonesia dari resep ibunya.

“Anak-anak bilang masakan saya paling enak,” ujarnya. Thelma membeli rujak cingur, walau akhirnya menyerah pada rasa pedasnya.


Ia hanya menyayangkan minimnya kehadiran generasi ketiga, anak-anak muda campuran, dalam acara ini.

“Padahal ini acara budaya yang sangat kaya,” katanya prihatin. “Kalau mereka tidak diajak sejak dini, saya khawatir identitas Indonesia akan semakin memudar.”

Selain kuliner, pengunjung juga disuguhi potongan film dokumenter tentang perbudakan modern di Nusa Tenggara Timur.

Film bertajuk Slave Island, Sumba Bukan Pulau Budak itu diputar singkat sebagai bagian dari kampanye share-doc.org, garapan Jimmy Hendricks, warga Belgia yang juga hadir dan menjelaskan latar belakangnya.

Tinggalkan Balasan