Penulis: Imee Barani
Eindhoven, KabarBelanda.com – Mau cerita sedikit tentang perjalanan kami membeli rumah di Belanda. Sebuah perjalanan penuh keajaiban.
Membeli rumah di sini sudah lama menjadi mimpi kami. Setelah mantap tinggal for good di Belanda, impian ini muncul terutama demi anak-anak. Awalnya, kami pikir butuh waktu 1–2 tahun lagi sebelum bisa sampai ke tahap ini, apalagi dengan pertimbangan finansial dan kestabilan pekerjaan. Tapi, ternyata Allah punya rencana lain.
Sistem Pembelian Rumah di Belanda
Di Belanda, kebanyakan orang membeli rumah dengan sistem mortgage (hipotheek). Asal ada bukti penghasilan mencukupi, kita bisa mengajukan pinjaman 100% dari harga rumah, dengan cicilan 10–30 tahun.
Harga rumah yang disetujui bank biasanya 4–5 kali lipat penghasilan kotor tahunan. Jadi, untuk membeli rumah seharga €400 ribu, penghasilan kotor setidaknya harus €80–100 ribu per tahun.
Di awal, pembeli hanya perlu menyiapkan biaya administrasi (bank, notaris, makelaar—jika memakai jasa, biaya valuasi, inspeksi rumah), sekitar €6 ribu. Selain itu, ada transfer tax sebesar 2% dari harga rumah. Kalau rumah €400 ribu, berarti €8 ribu hanya untuk pajak. Untungnya, pajak ini hanya berlaku untuk rumah bekas. Kalau rumah baru dari developer, tidak ada pajak. Ada juga pengecualian lain untuk first-time buyers, yang nanti akan kubahas.
Kalau harga tawar kita lebih tinggi dari harga valuasi (overbid), selisihnya harus dibayar sendiri. Misalnya, kita menawar €420 ribu, tapi valuasi rumah hanya €400 ribu, maka €20 ribu harus keluar dari kantong pribadi.
Karena itu, kami menghitung dengan cermat tabungan minimal sebelum berani terjun ke pasar. Saat ini Belanda memang sedang mengalami housing crisis. Properti yang dijual jauh lebih sedikit dari permintaan, sehingga banyak rumah overpriced. Kalau ingin dapat rumah di free market, harus siap overbid 5–15%. Bank tidak menanggung biaya ini, jadi semuanya harus dari tabungan pribadi.
Rumah Impian
Impian kami sederhana: rumah tapak dengan taman belakang agar anak-anak bisa bebas bermain. Sierra, anak pertama kami, selalu meminta rumah dengan backyard.
“Mami, Daddy, aku pengen punya rumah yang ada backyard-nya, nanti aku main trampoline sama Adik.”
Kami selalu ajarkan dia berdoa dan meminta pada Allah. Kadang hati terasa terenyuh, karena belum bisa mewujudkannya.
Di Belanda, rumah dengan taman belakang dan tiga lantai termasuk tipe standar keluarga. Bedanya ada pada jenisnya—row house (dempet dengan tetangga) lebih murah, sementara detached house lebih mahal. Di Eindhoven, harga rumah bisa €300–600 ribu, tergantung usia, luas, dan energy label.
Energy label menentukan efisiensi energi rumah. Rumah baru dengan panel surya bisa berlabel A++, sedangkan rumah lama dengan pemanas boros bisa berlabel E. Kami mengincar minimal label B/C, mengingat harga energi yang melonjak. Bonusnya, rumah dengan label di atas B mendapat bunga pinjaman bank lebih rendah.
Kejutan dari Seorang Sahabat
Suatu pagi di penghujung Mei, kami dapat kabar dari Mbak Weny, sahabat kami: ada rumah orang Indonesia di Eindhoven yang akan dijual.
Mas Dimas langsung bersemangat. Katanya, “Kalau cocok, langsung pinang saja. Jarang ada kesempatan begini.”
Lokasi rumah dekat sekolah Sierra, ada taman belakang, tiga kamar tidur, dan kamar mandi dengan bathtub. Dari foto saja sudah sesuai impian kami. Tapi aku tak ingin berharap terlalu besar, takut kecewa seperti pengalaman sebelumnya.
Hari melihat rumah pun tiba. Begitu masuk, si Adik Cimbul malah tertawa senyum-senyum sendiri. Mama dan Papa yang ikut melihat berkomentar,
“Bayi itu bisa merasakan. Sepertinya kalian berjodoh dengan rumah ini.”
Aamiin, batinku.