Tidak semua yang peduli memilih turun ke jalan. Beberapa orang berinisiatif menggalang dana secara pribadi. Ada pula yang merencanakan tindak lanjut berupa diskusi akademik, menulis opini, atau melakukan pemantauan terhadap dinamika di Indonesia. Semua inisiatif itu kemudian disatukan dalam satu semangat: solidaritas.
“Kami punya rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Ada hal-hal mendesak yang harus segera disuarakan, tetapi ada juga yang bisa dilakukan lewat cara lain,” jelas Tamara.
Mereka sadar, aksi di Belanda tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan aksi di Indonesia. Situasi, aturan, dan konteks berbeda. Namun perbedaan itu justru mempertegas arti solidaritas lintas batas.
Simbol Diam, Bukan Konfrontasi
Sejak awal, kegiatan ini dirancang sebagai ekspresi solidaritas, bukan konfrontasi. Tidak ada rencana untuk berdialog dengan pihak KBRI. Peserta hanya akan menyerahkan selembar amplop berisi tuntutan yang ditulis di kertas. Amplop itu akan diberikan kepada siapa pun yang menemui mereka dari balik pagar kedutaan.
Isi tuntutan sederhana namun tegas. “Hentikan kekerasan aparat, tegakkan keadilan bagi rakyat, dan bebaskan mereka yang masih ditahan.”
Dalam flyer yang disebarkan lewat akun Instagram @aksikamisannetherland, para peserta diminta mengenakan pakaian hitam sebagai simbol duka. Mereka juga diimbau membawa karton bertuliskan aspirasi masing-masing serta mengenakan masker untuk menjaga privasi.
Antara Tanah Air dan Tanah Perantauan
Tidak mudah bagi para perantau ini untuk menggelar aksi. Selain soal izin yang memerlukan waktu empat hari, ada pula kerinduan dan rasa bersalah yang tak bisa sepenuhnya terobati. Mereka berada jauh dari tanah air, sementara teman-teman sebangsa menghadapi situasi sulit di jalanan Jakarta.
“Kami tahu aksi ini tidak akan langsung mengubah keadaan. Tapi setidaknya, kami bisa berdiri bersama, menunjukkan bahwa jarak ribuan kilometer tidak memadamkan solidaritas,” ujar seorang peserta yang enggan disebutkan namanya.
Bagi mereka, Gerak Solidaritas Belanda bukanlah akhir, melainkan awal dari serangkaian langkah. Ada ruang untuk advokasi, ruang untuk diskusi, ruang untuk menulis, dan tentu saja ruang untuk terus bersuara. Semua demi menjaga agar tuntutan rakyat tidak berhenti di jalanan Jakarta saja, tetapi bergema hingga ke Den Haag.