Dalam sambutannya, Paula juga menyinggung kisah komunitas Maluku di Voorst. Salah satunya Roberto Wattimena, yang lahir di Kamp Teuge. Kisahnya kini menjadi bagian dari Atlas Budaya-Sejarah Voorst. “Panta rhei—segala sesuatu mengalir. Kita terus berbagi cerita dan menambahkan kisah baru. Yang penting, kita saling mendengar dan mengakui kisah satu sama lain,” ujarnya.
Nilai yang Menyatukan
Lebih jauh, Paula mengingatkan pentingnya menegakkan nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan menolak rasisme. Nilai-nilai itu, menurutnya, justru tak pernah hadir dalam masa kolonial. Karena itu, ia mengajak generasi sekarang untuk berani membangun norma baru yang lebih adil.
Mengutip sejarawan Gert Oostindie, Paula berkata, “Kritik diri nasional bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

Di akhir pidato, Paula memilih menutup dengan puisi. Ia membacakan karya Bertolt Brecht berjudul Topeng Kejahatan. Puisi itu bercerita tentang sebuah topeng roh jahat dari Jepang dengan urat-urat menonjol di dahinya, simbol betapa melelahkannya hidup dalam amarah.
“Jadi, mari kita berdamai,” ucapnya, menutup sambutan dengan senyum.
Makan, Musik, dan Tarian
Hidangan Indonesia sederhana namun khas, nasi putih, sate, semur daging, kering tempe, sambal goreng buncis, acar, dan kerupuk, tersaji di meja. Dengan harga €7,50, semua kursi terisi penuh hanya dalam hitungan hari.
Para pengunjung dilayani beberapa sukarelawan yg bekerja cepat dan tanggap. Salah satu di antaranya mengatakan acara ini terorganisir dengan sangat baik.
“Sejak pendaftaran, music dan cara menghidangkan makanan dengan cepat, namun tetap ramah,” kata Carol “orang Indo” yang orangtuanya lahir di Indonesia.
Suasana semakin hidup ketika musik mengalun dan beberapa peserta menari poco-poco. Bahkan sang Wali Kota ikut bergabung di lantai dansa.
Freedom Meal merupakan inisiatif bersama Indo Garden, Pemerintah Kota Voorst, Yayasan Indisch Erfgoed, Yayasan Pelita, dan Suara Gembira Indonesian Catering & Events. Bukan acara komersial, melainkan ruang untuk menghubungkan orang-orang dengan akar sejarah kolonial Belanda dan Indonesia.

Jamuan kebebasan ini dimulai pukul 13.45 dengan hidangan khas Indonesia. Menu terdiri dari nasi putih, telur dadar, kering tempe, sambal goreng buncis, acar ketimun, semur daging sapi, serta dua tusuk sate. Tak lupa sambal, kerupuk, dan semangkuk besar nasi putih pelengkap turut disajikan di meja.
Usai bersantap, musik terus mengalun. Beberapa pengunjung pun tak tahan untuk ikut menari poco-poco. Bahkan, Wali Kota Voorst Paula Jorritsma-Verkade ikut bergabung, melangkahkan kaki bersama warga dalam suasana hangat dan penuh tawa.
Freedom Meal berlangsung pada Jumat, 15 Agustus 2025, pukul 15.00–17.00 di taman pertunjukan Indo Garden, Wilp, Gelderland. Pintu dibuka mulai pukul 14.30. Taman indah ini dipenuhi elemen khas Indonesia dan terbuka bagi siapa pun yang ingin menjelajahinya.

Acara ini bukan sekadar santap bersama, melainkan juga momen mengenang perjalanan panjang komunitas Indo, Maluku Selatan, dan Tionghoa yang direpatriasi dari Hindia Belanda 80 tahun silam. Bagi generasi pertama, itu adalah perpisahan menyakitkan dari tanah kelahiran. Mereka harus beradaptasi di Belanda, berjuang keras membangun hidup baru. Kini, generasi cucu menanyakan kembali kisah-kisah Hindia Belanda yang lama terpendam.
Melalui Freedom Meal, sejarah dan cerita itu dihidupkan kembali, diiringi semangat kebersamaan lintas generasi dan latar belakang.
Jamuan ini bersifat non-komersial, dengan kontribusi €7,50 per porsi. Tujuannya adalah menghubungkan, merawat ingatan, dan berbagi budaya Indonesia kepada siapa pun—tua maupun muda, dengan atau tanpa akar Indonesia.
Sayangnya, kapasitas hanya 150 peserta. Semua tempat kini sudah penuh, dan pendaftaran resmi ditutup. Namun, bagi yang tertarik menikmati suasana Indo Garden, taman ini tetap terbuka untuk pengunjung setiap Jumat dan Sabtu.
“Jamuan kebebasan ini adalah kesempatan untuk merayakan kemerdekaan dan kebersamaan,” kata panitia.