“Cinta bukan kelemahan; itu adalah aksi. Membangun masyarakat di mana keberagaman tidak hanya ditoleransi, tetapi dirayakan,” kata Lucien Spee de Castillo Ruiz, Direktur Pride Amsterdam.
Dukungan datang dari berbagai pihak, mulai dari warga lokal, turis, pengusaha hotel, restoran, dan kafe, hingga partai politik yang memanfaatkan momentum untuk bertemu massa.
Bagi pelaku usaha, ini adalah salah satu akhir pekan paling sibuk dalam setahun, reservasi meja kafe dan restoran bahkan dilakukan jauh hari sebelumnya.
Kota yang Berdetak
Di Dam, monumen nasional Amsterdam, sebuah panggung musik berdiri megah. Hanya penonton terdaftar yang dapat mendekat, namun kemeriahan juga tersebar di berbagai lokasi dengan panggung komunitas.
Penutupan acara membuat beberapa jalur trem ditutup, memaksa banyak orang berjalan kaki menuju stasiun. “Tapi tidak terasa jauh, karena suasananya sangat ramai dan menyenangkan,” kata Nickytatty.
Hujan sempat turun singkat di tengah suhu 21 derajat Celsius. Namun langit cerah kembali, dan hingga pukul delapan malam, saat matahari musim panas belum sepenuhnya tenggelam, kerumunan masih memadati pusat kota.
Jejak Sejarah
Sejak pertama kali digelar pada 1996, Pride Amsterdam berkembang menjadi salah satu festival publik terbesar di Belanda. Tidak seperti Pride di banyak kota lain yang lahir dari aksi protes, acara ini sejak awal dirancang sebagai festival untuk merayakan kebebasan. Sejak 2019, Pride Amsterdam tercatat dalam Inventaris Warisan Budaya Takbenda Belanda.
Tahun ini, festival berlangsung 26 Juli–3 Agustus, mencakup Pride March, Pride Park, panggung seni dan budaya, pemutaran film terbuka, pesta jalanan, hingga pesta penutupan spektakuler di Dam. Namun, Canal Parade tetap menjadi magnet utama, menarik ratusan ribu penonton dari dalam dan luar negeri.
Bagi mereka yang hadir, Pride Amsterdam 2025 bukan sekadar pesta pelangi di atas air, tetapi juga pengingat bahwa cinta, dalam segala bentuknya, adalah bahasa yang menyatukan.