Energi Musik dan Dialog Budaya Franki Raden

Penulis: A. Zulfan

Arnhem, KabarBelanda.com – Franki Raden bukanlah nama asing di jagat seni musik Indonesia. Di balik harmoni nada dan denting alat musik tradisional Indonesia, tersimpan energi tak kasatmata yang menghubungkan masa lalu, spiritualitas, dan dunia modern.

Itulah napas dalam karya-karya Franki Raden, komponis dan etnomusikolog Indonesia yang terus menjelajah panggung dunia bersama Indonesian National Orchestra (INO).

Sejak tahun 2010, pria kelahiran 1953 ini memimpin INO, sebuah orkestra yang mengangkat ragam alat musik tradisional Indonesia dalam bingkai komposisi lintas budaya.

Dengan gelar doktor etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison, AS, ia tak hanya menguasai teori, tetapi juga menggali makna terdalam dari bunyi.


Tahun ini, INO kembali memukau Eropa. Salah satu penampilan mereka yang paling membekas adalah di Bimhuis, Amsterdam, Minggu, 20 Juni lalu.

Penonton berdiri sambil bertepuk tangan selama beberapa menit, sebuah standing ovation yang menggambarkan betapa dalam karya yang baru saja mereka saksikan.

Respons serupa pernah terjadi dalam konser-konser sebelumnya di Den Haag dan Jerman.

Apa yang membuat karya Franki dan INO begitu memikat, bahkan bagi audiens lintas budaya?


Dalam wawancara di awal pentas mereka di Bimhuis 20 Juni lalu, Franki mengungkapkan bahwa musik yang mereka gelar menyertakan unsur energi non fisik.

“Kalau kita tahu kunci bagaimana memainkannya, puluhan bahkan ratusan alat-alat musik tradisional Indonesia itu sebenarnya “the bank of energy”. Kunci itu bukan berupa petunjuk teknik bermain dan ditulis dalam partitur ala barat,” kata Franki.

“Alat-alat musik tradisional itu tidak serta merta ada. Leluhur kita susah payah membuatnya. Dalam proses membuat alat-alat musik itu, mereka melakukan bermacam-macam ritual, semedi, berpuasa, olah batin. Energi nonfisik itu akan muncul apabila kita menjalani esensi ritual itu. Energi itu yang mungkin dirasakan penontonnya,” kata Franki mengungkap rahasia olahan musiknya.

Akan halnya ritual itu, Franki tidak menyebut itu sebagai keharusan mutlak berdasar kepercayaan agama tertentu. Pemain musik INO datang dari berbagai latar budaya dan agama. “Mereka menjalankan ritual berdasar kepercayaan masing-masing,” kata Franki.

Hal ini terasa dalam komposisi NFN Arabica yang dibawakan di Bimhuis. Lagu ini berangkat dari puisi sufi karya Rabia Al-Adawiyya, penyair perempuan abad pertama yang dikenal karena puisi cinta pada Sang Khalik.

Di atas panggung, syairnya dilantunkan oleh seorang pemain Hadrah dari Betawi, sementara instrumen tradisional mengiringi perlahan. Dalam suasana hening, Satya Cipta melantunkan kidung Bali yang memperkuat nuansa sakral.

Penonton terpaku di tempat duduknya. Seisi ruang terasa hening, damai, bernuansa cinta.

Berbagai alat-alat musik yang mereka mainkan berasal dari daerah Sunda, Batak, Jawa, Bali, dan bahkan ada alat-alat musik non tradisional Indonesia: Dijeridoo, gitar dan bass elektrik. Dijeridoo adalah alat musik tiup dari suku Aborigin Australia. Satya Cipta berasal dari Bali, pemain Hadrah itu dari Betawi.

Tinggalkan Balasan