
Tak hanya makanan, minuman segar khas Indonesia seperti es campur dan es cendol juga hadir. Beberapa pengunjung terlihat menikmati sajian ini di bangku taman sambil bercakap dalam bahasa Belanda yang diselingi logat Indonesia.
Tarian dan Tawa dalam Irama
Suasana semakin semarak ketika panggung musik mulai bergema. Ben Heart dan Duo Ginger, dua musisi yang dikenal di kalangan komunitas Indo, mengajak pengunjung larut dalam suasana riang. Irama Poco-poco dan line dance memancing gelak dan langkah kaki bergerak serempak.

Di tengah keramaian, tiga penari membawakan tarian tradisional Indonesia. Gerak mereka gemulai, penuh makna, dan mampu membungkus para penonton dalam hening kagum.
Menariknya, sebagian penari adalah keturunan Indo-Belanda—menjadi bukti bahwa warisan budaya tetap hidup melintasi generasi dan benua.

Lebih dari Sekadar Bazar
Tidak hanya stan makanan dan pertunjukan, tersedia pula layanan pijat tradisional. Di bawah tenda sederhana, pengunjung yang letih bisa menikmati pijatan ringan di bangku khusus, menggunakan minyak pijat khas Bali. Meskipun singkat, pengalaman ini memberi kesegaran di tengah riuhnya pasar kecil.

Yang membuat acara ini terasa semakin berjiwa adalah kehadiran stan “Rumah Saya”—panti jompo khusus bagi lansia keturunan Indonesia. Di sinilah para orang tua yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia dapat tinggal dan tetap merasa dekat dengan budaya asal.
Intim dan Bermakna
Indo Garden memang tidak mengundang ribuan pengunjung. Sang pemilik sengaja membatasi jumlah agar suasana tetap hangat dan akrab. “Kami ingin acara ini tetap terasa seperti rumah,” katanya.

Dan benar saja. Di akhir acara yang berlangsung hingga pukul lima sore, hampir tak ada yang beranjak pulang lebih awal. Tawa, canda, musik, dan aroma masakan memenuhi udara. Waktu terasa berjalan cepat—seperti hari-hari di kampung halaman yang kini hadir di taman kecil, jauh di utara dunia.