Mereka menampilkan perpaduan tarian dari berbagai daerah: “Puang Ngeloneng” dari Betawi, gabungan tarian “Naiak Padi”, “Piring”, dan “Indang” dari Sumatera Barat, tarian “Nyerap” dari Kalimantan Barat, serta “Saureka-reka” dari Maluku. Penampilan mereka tak hanya menarik perhatian masyarakat Indonesia di Belanda, tetapi juga publik lokal. Di Museum Sophiahof, penonton bahkan mencapai 400 orang.

Menari Sekaligus Menjenguk Anak
Motivasi tampil di luar negeri bukan sekadar panggung. Banyak anggota KPM yang memiliki anak yang sedang kuliah di Belanda atau Jerman. Maka, kesempatan tampil di Eropa juga dimanfaatkan sebagai ajang menjenguk anak. “Sambil menyelam minum air,” canda Molly.
Namun di balik penampilan memukau, ada perjuangan logistik yang tak ringan. Tahun lalu, Kemendikbudristek sempat memberikan dukungan dana sebesar Rp15 juta per orang, namun hanya cukup untuk menutup biaya tiket dan visa. Sisanya—akomodasi, konsumsi, transportasi—ditanggung pribadi. Tahun ini, tanpa sponsor, seluruh biaya ditanggung sendiri oleh para anggota. Molly mengakui, mencari sponsor kini makin sulit karena pengetatan anggaran.

Gotong Royong dan Dukungan Internal
Meski tanpa bantuan finansial besar, semangat gotong royong tetap menyala. Salah satu pelatih, Suprijadi Arsjad, turut diberangkatkan berkat patungan anggota. “Kami iuran masing-masing Rp2 juta, dan itu cukup,” ujar Molly. Total 26 penari berangkat ke Belanda dan menetap selama seminggu, dari 6 hingga 12 Mei. Beberapa menginap di vila berkapasitas delapan kamar, lainnya menyewa apartemen dan hotel di kawasan Scheveningen dengan biaya sekitar 50 euro per malam.
Dukungan resmi dari KBRI Den Haag terbatas pada publikasi acara di situs web dan kehadiran staf di lokasi pentas. Selebihnya, semua diurus sendiri.

Menyebar Semangat Menari dan Budaya
Tak sekadar tampil, KPM juga berbagi ilmu lewat workshop tari—salah satunya tarian Aceh. “Kami ingin budaya Indonesia dikenal luas, bahkan lewat langkah-langkah kecil,” ujar Molly. Ia berharap lebih banyak perempuan Indonesia di luar negeri maupun di tanah air, terutama yang berusia di atas 50 tahun, berani mengekspresikan diri melalui seni.
“Kami memang tidak komersial, tapi siapa bilang tidak bisa tampil di panggung dunia?” pungkas Molly.
