Arrania Edia: Hidup Dua Budaya, Cerita Satu Hati

KabarBelanda.com – Namanya Arrania Edia—bukan orang sungguhan, tapi kehidupannya terasa nyata di Instagram, TikTok, dan Facebook. Ia bukan selebritas atau influencer, melainkan tokoh visual kreatif yang lahir dari pengalaman riil diaspora Indonesia di Italia. Lewat cerita visual yang lembut namun tajam, Arrania menjadi suara baru yang menjembatani perbedaan budaya antara Indonesia dan Eropa, khususnya Italia.

Terlahir dari Tanya, Tumbuh Jadi Cerita

Kisah Arrania berakar dari pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sering mampir di kolom komentar media sosial. “Gimana sih hidup di Italia?” “Sekolah anak-anak di sana kayak apa?” “Orang Italia romantis nggak?” Pertanyaan itu mungkin juga pernah muncul di benak kita—terutama bagi para perantau Indonesia di Belanda yang punya rasa penasaran pada kehidupan di negeri Mediterania itu.

Rieska Wulandari, seorang jurnalis Indonesia yang menetap di Milan, merasa pertanyaan-pertanyaan tersebut tak cukup dijawab dengan satu-dua kalimat. Bersama Harry Martawijaya—seniman visual dan konsultan merek lulusan ITB—ia lalu menciptakan tokoh bernama Arrania Edia. “Kami ingin menghadirkan sosok yang bisa menjembatani gegar budaya,” ujar Rieska dalam wawancara daring dari apartemennya di Milan.

Perempuan di Titik Temu Dua Budaya

Arrania digambarkan sebagai perempuan Indonesia yang menempuh pendidikan di Italia, lalu menikah dengan pria lokal bernama Enrico. Mereka dikaruniai dua anak: Jordan dan Arradia. Di balik sosoknya sebagai istri, ibu, dan jurnalis, Arrania merepresentasikan keseharian perempuan diaspora—mereka yang hidup di antara dua dunia dan dua cara pandang.

Tapi ia bukan karakter sempurna. Justru kekeliruan, rasa lelah, bahkan salah paham yang dialami Arrania membuatnya terasa dekat. Ia bukan pahlawan. Ia belajar dari keseharian. Dalam banyak hal, ia adalah cermin dari kita sendiri.

Dari Visual Ringan hingga Dialog Mendalam

Cerita-cerita Arrania hadir dalam format grafis mingguan di media sosial. Gaya ilustrasinya ringan, warnanya lembut, namun penuh makna. Ceritanya dikemas dalam tiga bahasa: Indonesia di gambar, serta Inggris dan Italia di keterangan. Ini bukan sekadar proyek seni, tapi bentuk baru jurnalisme visual—yang melibatkan riset, kepekaan sosial, dan empati antarbudaya.

Salah satu panel menggambarkan kebingungan orang Indonesia ketika pertama kali tahu bahwa “bar” di Italia berarti kafe, bukan tempat minum-minum seperti di Indonesia. Di sinilah letak kekuatan Arrania: menyederhanakan kerumitan budaya menjadi cerita yang membumi dan menghibur.

Jendela Dunia untuk Dua Arah