Ada Nyi Roro Kidul yang Menyenangkan di Pameran Verwevenheid

Mereka adalah Aniendya Christianna, Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Biranul Anas Zaman, Claire Zandvliet, Dian Widiawati, Dominique Laemmli, Indrani Ashe, Ira Adriati, Joanneke Meester, Kahfiati Kahdar, Loranita Damayanti Theo, Maya Purnama Sari, Monica Hartanti, Nadia Arfan, Nadin Varsovia, Nahla Ali, Nayera Subaih, Nuning Yanti Damayanti, Oco Santoso, Ratih Mahardika, Savitri Sasongko, Sabine Bolk, Sabina Gillani, Sayaka Shinkai, Vera Utami Gede Putri, Victor MI. Mambraku, dan Wil Oei.

Quilt, Wil Oei (Foto: Istimewa)

Semua karya menampilkan kekuatan seni tekstil kontemporer yang inspiratif. Seperti yang disampaikan di awal,  karya Nuning Damayanti, yang  memperlihatkan wastra yang menghubungkan “tradisi” dan “kemodernan.” Ide karya Nuning adalah menafsirkan kembali figur Nyi Roro Kidul sebagai figur  yang berbeda dengan gambaran yang selama ini terkonstruksi di masyarakat Indonesia. Sosok Nyi Roro Kidul kini hadir dalam kesan seperti peri yang menyenangkan dibandingkan dengan kesan magis dan supranatural sebelumnya.

Adapun Savitri Sasongko, karyanya memperlihatkan hasil eksperimen dan eksplorasi dengan Puspa Melati dengan Teknik yang dia beri nama Jelami atau Jejak Alami. Teknik ini adalah pencetakan bunga melati di atas kain sutera. Jejak yang ditinggalkan bentuk bunga tersebut menciptakan bentuk dan nuansa estetik yang khas dengan karakter bunga melati yang kuat.

Batik Selfie, Sabine Bolk. (Foto: Istimewa)

Sedangkan Sabine Bolk, membuat “batik kontemporer.” , Sabine menggambarkan dirinya dirinya sendiri sebagai figur dengan sosok bertangan empat, seperti halnya gambaran Dewi Saraswati yang memiliki empat lengan, masing-masing melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, mawas diri, dan ego. 

Pada karya batik Sabine Bolk, perempuan di situ, Sabine sendiri, diperlihatkan sedang mengerjakan empat pekerjaan sekaligus: memotret, mengetik, membaca, mencanting. Jukstaposisi antara simbolis klasik seperti Dewi Saraswati dan karakter Sabine mewakilkan wanita modern membuat resonansi antara masa lalu dan masa kini menjadi hal yang selalu aktual.

Pameran “Verwevenheid, Textile Diversity in Contemporary Art”  difasilitasi KBRI Den Haag dengan pendanaan swadaya  melibatkan beberapa orang dalam kepanitiaan. Antara lain,  Ketua delegasi Nuning Damayanti sebagai dosen dan supervisor dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, dibantu oleh Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Victor MI. Mambraku, Dian Widiawati, dan Savitri Sasongko, lalu kurator pameran ada dua orang: Aminudin TH Siregar dan Herra Pahlasari, merangkap program koordinator, Dari pihak KBRI adalah Agus Setiabudi – Atase Pendidikan dan Kebudayaan, yang sejak awal mendukung rencana kegiatan ini menimbang adanya unsur Pendidikan dan kebudayaan di dalamnya.

Tim Panitia Indonesia tiba di bandara. (Foto: Istimewa)

Belanda dipilih menjadi tempat pameran, berawal dari kontak Savitri Sasongko, salah satu partisipan pameran ini dengan Ibu Anita,  istri Atase Pertahanan KBRI Den Haag dan Ibu Yati Setiabudi,  istri Atase Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat kegiatan lokakarya cetak batik dengan teknik jelami. Gagasan ini kemudian berkembang menjadi pameran dengan lingkup dan partisipan yang lebih luas. 

Dalam perjalanannya, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Agus Setiabudi mendukung kegiatan tersebut menjadi bagian dari kegiatan akademik dan juga promosi kekuatan budaya Indonesia melalui seni tekstil kontemporer.

Belanda tentu menjadi penting dan strategis karena memiliki kedekatan historis dengan Indonesia. Mengingat juga banyak koleksi seni tekstil yang disimpan di museum-museum di Belanda. Secara imajinatif, pameran seni tekstil kontemporer ini akan beresonansi dengan identitas Indonesia masa lalu.

Meskipun terkendala masalah  logistik dan tenaga teknis di lapangan karena cukup mahal di Belanda, selain itu  perbedaan waktu Indonesia-Belanda dengan kesibukan pekerjaan dan aktivitas masing-masing panitia, partisipan/seniman, pameran berhasil diselenggarakan. 

Diharapkan program pameran seni rupa kontemporer seperti ini menjadi agenda rutin yang difasilitasi oleh KBRI-Den Haag untuk memperlihatkan bahwa seni rupa Indonesia sudah sangat maju dan telah jauh berkembang. Lebih jauh, ada harapan pameran tersebut dapat melahirkan kolaborasi dan program baru ke depan dengan pertemuan/ persilangan seniman, partisipan, publik, institusi/organisasi di Belanda melalui seni rupa, pendidikan dan kebudayaan.

Editor: Natalia Santi