Penulis: Yuke Mayaratih
Kabarbelanda.com – Sejumlah pedagang Tong Tong Fair Belanda mengeluh dagangannya masih menumpuk menjelang Tong Tong Fair ditutup. Mereka mengaku rugi lantaran barang dagangan yang dibawa dari Indonesia hanya laku separuhnya. Bahkan ada pula yang kurang dari itu.
Akibatnya, biaya operasional yang mereka sudah keluarkan pun tidak tertutupi. Hal ini dikeluhkan setidaknya lima pedagang yang biasanya berjualan di Pavilion Indonesia.
Biasanya, aneka produk makanan siap saji Indonesia, seperti rendang, abon, dendeng sapi, teri kacang dan aneka keripik seperti keripik singkong, keripik sukun dan juga kerupuk adalah dagangan yang paling laris sejak hari pertama.
Tapi tahun ini, sudah hari ke tujuh, baru seperempat barang dagangan yang terjual. Hal ini diakui Audra, salah satu pedagang yang sudah mengikuti acara Tong Tong Fair selama enam tahun. Audra yang asal Padang, Sumatera Barat, mengaku barang dagangan ia ambil dari Padang dan juga Jakarta.
“Tahun lalu dagangan saya laku keras,” kata Audra. “Saya kira ini karena faktor waktu penyelenggaraan Tong Tong Fair di bulan September.”
“Agustus kan banyak warga Belanda yang liburan dan bahkan selesai liburan. Nah uang mereka dialokasikan untuk liburan itu, mungkin udah habis juga. Jadi yah mereka mungkin banyak juga yang ngga datang ke sini.”
Alasan lainnya adalah harga tiket masuk Tong Tong Fair yang naik sebesar 3,5 euro. Kalau sebelumnya tiket masuk sebesar 15 euro, sekarang 18.50 euro per orang saat weekend.
Padahal sebelum pandemi pengunjung hanya membayar 12.00. Tapi memang harus dimaklumi karena dampak perang Ukraina-Rusia yang berdampak kenaikan harga di semua sektor. Jadi harga sewa stan dan lainnya juga ikut naik.
Alasan lainnya juga cuaca. Gelombang panas yang melanda Eropa tengah termasuk Belanda juga membuat warga Belanda memilih pergi ke pantai atau di rumah saja.
Maklum, suhu udara bisa mencapai 32 derajat Celsius.
Hal senada juga diakui Wida. Pemilik sekaligus pedagang Wida Floris Batik dan craft asal Jogya. Meskipun barang dagangan utamanya kerajinan tangan seperti kipas batik, sarung guling, guling dan beberapa kerajinan tangan lainnya.
Namun ia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual produk makanan. Seperti dodol dan manisan buah. Biasanya warga Indonesia yang lama tinggal di sini yang kangen makan dodol.
Menurut Wida, tahun lalu adalah tahun yang menguntungkan. Karena pengunjung kangen Tong tong festival yang sempat absen 2 tahun karena pandemi. Nah bukan hanya pengunjung yang membludak, tetapi barang dagangan juga ludes dalam hitungan beberapa hari saja.
Tong Tong Fair digelar selama 10 hari. Dan biasanya pada Mei-Juni. Entah apa pertimbangan panitia yang menggelar Tong Tong Fair pasca pandemi dalam dua tahun belakangan menjadi akhir Agustus dan awal September.
Wida mengaku selalu ikut jualan di TTF sejak sejak 2015. Tidak pernah absen. Mungkin saya satu satunya pedagang yang berasl dari Jogya. Ia mengaku penjualan tahun ini menurunn drastis bahkan sampai 50 persen.
Wida mengaku senang bisa ikut berjualan di belanda. Bukan semata mata karena mencari keuntungan saja, tetapi juga ia senangbisa bersilaturahmi dan bisa kenal dengan pelanggannya. Ia mengaku pelanggannya warga Belanda biasanya loyal.
“Dia selalu mencari saya dan bahkan memesan barang sebelum saya datang di acara Tong Tong, melalui WhatsAap. Jadi pas sampai di Belanda saya langsung kontak dan menginfokan kalo saya sudah ada di stan TTF dan barang yang dia pesan sudah saya bawakan,” kata Wida.
“Tahun ini saya tidak membawa jaket dan kimono batik, karena banyak pedagang lain yang juga sudah menjual itu. Saya memilih menjual produk lainnya.”
Menurut Wida, cuaca panas mendorong penjualan kipas batik. Ia menjual kipas batik dengan harga 3-4 Euro per buah.
Meskipun barang dagangannya tidak basi karena bukan jenis makanan namun, Wida mengaku kerepotan karena harus membayar sewa tempat di Belanda untuk barang dagangannya. Dia berharap TTF tahun depan akan lebih baik lagi.
Adapun Audra, memilih melelang barang dagangannya semurah mungkin. Seperti emping, sumpia dan telur gabus yang biasanya dijual tiga Euro perbungkus dilego menjadi satu Euro saja. Sedangkan keripik keripik sukun dan sanjai (keripik singkong pedas yang biasanya dijual 4-5 Euro per bungkus, menjadi 2,50/bungkus.
“Asalkan barang habis aja sih. Kan ngga mungkin saya bawa Kembali ke Indonesia katanya lagi,” kata Audra yang berprofesi sebagai penjahit kebaya kepada kabarbelanda.com. Dia mengaku masih mempertimbangkan apakah akan ikut TTF tahun depan atau tidak.