Pesona Wayang Potehi Gudo di Tong Tong Fair 2022

Penulis: Silvy Werdani Puntowati

Denhaag, Kabarbelanda.com – Wayang Potehi Gudo dari Jombang turut meramaikan Tong Tong Fair ke-62 yang digelar di Lapangan Malieved, Denhaag, Belanda, pada 1-11 September 2002.

Wayang Potehi Gudo dikembangkan oleh Tok Su Kwei, asal Coan-Ciu, Provinsi Fujian, China yang merantau ke Nusantara pada 1920-an. Dia memilih untuk tinggal di Desa Gudo, Jombang, Jawa Timur. Di tempat asalnya, Tok Su Kwei adalah dalang wayang potehi. Saat merantau, dia membawa semua alat perlengkapan pertunjukan yang dibutuhkan, lalu mendirikan grup wayang Potehi, yang diberi nama Fu He Han, yang artinya rezeki dan selamat.

Adapun Potehi berasal dari kata pou yang artinya kain, te atau kantong dan hi berarti wayang, sehingga bisa diartikan sebagai boneka wayang yang terbuat dari kain. Untuk memainkannya sang dalang memasukkan jari jarinya kedalam boneka yang menyerupaii kantong dan menggerakkan boneka wayang sesuai lakon dan iringan musik.

Pada penampilan perdana Wayang Potehi Gudo di Tong Tong Fair 2022, dengan lakon “Sun Go Kong”, dalangnya adalah Widodo, dibantu oleh Tonny Harsono, Ketua Kesenian Wayang Potehi, yang juga cucu dari Tok Su Kwei.

Lakon “Sun Go Kong” atau “Perjalanan ke Barat” tersebut dikisahkan dalam bahasa Jawa Timur-an diselingi kata-kata dalam bahasa Tionghoa.

Agar pengunjung Tong Tong mengerti jalan ceritanya, rencana awalnya adalah pembacaan cerita dalam bahasa Inggris sebelum pertunjukan wayang dimulai,

Namun akhirnya, penulis yang tadinya hanya bermaksud menjadi penonton, mendadak diminta menterjemahkan lakon yang dimainkan para dalang. Kelompok wayang potehi Gudo dijadwalkan pentas dua kali di Tong Tong Fair, yaitu pada Rabu, 7 September pukul 17.30 dan Jumat, 9 September pukul 16.00.

Pada perjalanan sejarahnya, wayang potehi tidak semulus kisah yang dimainkan. Tak lama setelah grup wayang potehi Fu He Han mendapat tempat di hati warga Jombang dan sekitarnya, Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1967 yang membatasi segala kegiatan yang berhubungan dengan Tiongkok. Keppres tersebut menjadi ‘tiket kematian’ bagi wayang potehi.

Baru pada masa pemerintah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat Instruksi Presiden No 6 Tahun 2000 membebaskan masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya dan menyatakan bahwa budaya Tionghoa telah menjadi bagian dari budaya nasional Indonesia.

Comments are closed.