Penulis menyimpan banyak kisah masa kecil dengan Benteng Oranje ini. Dulu komplek benteng ini menjadi tempat penulis bermain dan bergaul dengan masyarakat sekitar.
Lokasi Benteng Oranje sangat strategis. Dari gerbang depan bisa langsung tembus ke pantai yang cukup landai. Pantai itu menjadi tempat favorit untuk memancing dan berenang sambil menanti senja.
Sayangnya, kini pemandangan pantai indah itu sudah terhalang bangunan ruko yang berjejer sepanjang jalan di depan Benteng Oranje, yang memanjang ke jantung kota Gamalama.
Saat ini Benteng Oranje memiliki bangunan lama dengan renovasi serta tambahan bangunan baru yang dijadikan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan merangkap Dinas Purbakala Provinsi Maluku Utara.

Pernah menjadi Markas Brimob
Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an, Benteng Oranje dijadikan Markas Komando Pasukan Brimob dan asrama prajurit. Selain itu, juga dijadikan penyimpanan logistik pasukan militer, sebelum disebarkan dan dikirim ke pulau-pulau terpencil di wilayah Maluku Utara.
Benteng Oranje dibuka bebas untuk umum. Pelajar dan mahasiswa banyak yang melakukan aktivitas dan kegiatan belajar terbuka, termasuk melakukan riset dan penelitian sejarah dan purbakala.
Di dalam Benteng Oranje terdapat bangunan rumah Gubernur Jenderal dan Gubernur VOC. Selain itu, juga barak prajurit dan gudang senjata.
Bangunan lama pernah digunakan sebagai rumah sakit dan penjara bawah tanah. Namun kini lokasi itu digunakan untuk perkantoran.

Tersisa 13 Pucuk Meriam
Kini di Benteng Oranje terdapat 13 meriam yang tersisa. Ada dugaan beberapa meriam hilang dari tempat asalnya. Sejumlah asesoris pintu dan jendela juga banyak yang hilang digondol tangan-tangan jahil.
Di tengah lapangan terdapat lambang VOC berbentuk singa dan perisai, yang diletakkan di pinggir benteng.

Benteng Oranje adalah saksi bisu, betapa kayanya wilayah Nusantara bagian timur. Adanya rempah-rempah menjadi magnet bagi kedatangan bangsa Eropa, yang kemudian menjarah dan menguasai negeri ini, mulai dari bangsa Portugis, Spanyol, hingga Belanda, dan akhirnya Jepang.
Editor: Tian Arief