Selesai penugasan di Amerika Serikat, Silvy ikut suami yang membuat proyek penelitian ilmiah tentang batu karang di Makassar. Setelah lima tahun di Makassar, mereka kembali lagi ke Belanda.
Suaminya bekerja sebagai peneliti ilmiah di Naturalis merangkap Guru Besar di Universitas Groningen. Sedangkan Silvy bekerja sebagai museum docent di Museum Volkenkunde Leiden.

Mengajar Tentang Indonesia
Di Belanda, Silvy mengajar murid-murid sekolah. Museum tempatnya bekerja memiliki program untuk anak sekolah, mulai dari SD sampai mahasiswa. Awalnya mengajar tentang Indonesia, kemudian berkembang tentang apa saja. Misalnya, pameran yang sedang berlangsung. Pameran tentang suku bangsa asli Meksiko, tentang Jepang, geisha, dan lain-lain.
“Senang juga mengajar. Apalagi berkaitan dengan budaya. Saat mengajar tentang Indonesia, saya bisa mempromosikan negara sendiri,” ucapnya sambil tersenyum.
Ia dikaruniai seorang anak laki-laki, yang kini berusia 27 tahun. Kuliahnya di Universitas Delft, dan kini menyelesaikan studi Master sambil bekerja. Anaknya masih tinggal satu rumah, karena Delft dan Leiden jaraknya dekat, dan susah sekali cari rumah di sana. Namun setiap akhir pekan, dia berada di rumah temannya.

Hobi Masak
“Kalau lagi di rumah, saya mengerjakan hobi, yaitu memasak, menulis resep, dan fotografi. Saya juga menulis buku tentang resep, yang sudah diterbitkan 5-6 tahun lalu.
Penerbitan buku resep itu bermula dari permintaan salah seorang mahasiswanya. Atas ajakan seorang teman, Silvy mengajar di Volks Universiteit. Nah, para mahasiswanya suka bertanya tentang buku apa yang direkomendasikannya. Mengapa ia tidak membuat buku berdasarkan resep masakan -yang banyak disuka orang Belanda? “Jadi, idenya dari mahasiswa. Lalu resep-resep saya kemudian dibukukan,” tuturnya.
Buku itu ditulis dalam dua bahasa: Indonesia dan Belanda. Penerbitnya dari Jakarta. Harga bukunya 15 euro, tebalnya 119 halaman. Buku itu dikerjakan selama 2 tahun. Ada beberapa foto dan resep. Salah satunya, bakmi.
Berkat buku itu, orang Belanda selain belajar masak, juga bisa belajar tentang nama-nama bumbu dalam bahasa Indonesia. Orang Indonesia juga bisa tahu nama bumbu-bumbu masakan khas Nusantara dalam bahasa Belanda. “Jadi kedua belah pihak bisa sama-sama belajar. Tujuannya adalah bisa memperkenalkan budaya Indonesia dan masakannya sekaligus,” kata Silvy. Dalam waktu dekat ini, ia akan membuat buku resep kedua. Sedang dalam proses. Silvy juga meneliti tentang odading di Indonesia. Ternyata itu ada hubungannya dengan olibollen, makanan ringan yang sangat populer di Negeri Kincir Angin itu. Tulisan tentang kue odading ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta.
Kegiatan lainnya, sebagai Antropolog ia senang melakukan penelitian kecil tentang fungsi dan arti simbolik dari kain batik maupun ikat dari daerah, misalnya Rongkong, Sulawesi. Kemudian hasilnya dipublikasikan.

Culture Shock
Sewaktu baru pindah ke Belanda, Silvy mengalami gegar budaya (culture shock). Terutama karena tidak bisa masak. Terpikir olehnya untuk berlangganan pesan makanan atau makanan rantangan, namun tidak bisa. Akhirnya ia hampir tiap hari makan di kantin mahasiswa yang murah. Perlu dicatat, pada tahun 80-an belum ada jualan makanan secara online maupun order makanan.
Kesulitannya, pada waktu itu supermarket hanya buka hari Sabtu sampai jam 5. Pada hari Minggu toko dan supermarket tutup, karena hari itu adalah hari untuk karyawan bisa istrirahat dan ibadah ke gereja. Pada Sabtu hingga Senin jam 13.00, kalau ia lupa belanja, itu artinya ia bisa kelaparan. “Solusinya, bertandang ke rumah teman sampai jam makan tiba,” kata perempuan yang fasih berbahasa Belanda itu sambil tertawa.
Awal mula bertemu suaminya juga gara-gara tidak bisa masak. Karena sering makan di kantin, suaminya saat itu yang sedang mengambil PhD di Universitas Leiden, juga rajin makan di sana. Lalu bertemulah mereka. Cinta mereka pun bersemi di kantin universitas. Setelah berpacaran, mereka pun menikah pada 1977.
Editor: Tian Arief