
Nah, setiap kali menghadiri acara fellowship, ia juga menyampaikan pesan-pesan kebangsaan dalam sambutannya dan mencairkan suasana. Menyampaikan pesan kebangsaan, perlindungan warga dan pesan kerohanian. Pesan kebangsaan, misalnya bahwa orang Indonesia di Belanda menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, meskipun masih paspor Indonesia atau sudah berganti warga negara.
Di samping itu, dalam banyak pertemuan, Freddy juga mengamati warga Indonesia jika punya masalah, tidak melihat KBRI Den Haag sebagai pihak yang bisa membantu memberikan jalan keluar. “Selama ini masih banyak yang melihat KBRI Den Haag tidak sebagai ‘rumah’. Padahal sejatinya, KBRI itu adalah rumah buat semua orang Indonesia. Sebisa mungkin kami memberikan bantuan, layanan dan jalan keluar jika ada warga Indonesia yang mengalami kesulitan. Nah di sini saya menyampaikan kepada mereka, bahwa bangsa Indonesia seharusnya melihat KBRI Den Haag sebagai ‘rumah’ orang Indonesia. Untuk mendekatkan atau reconnecting ini harus dilakukan, meski tentu tidak mudah. Apalagi di masa pandemi banyak warga yang tidak bisa juga datang ke KBRI karena COVID. Salah satu jalannya adalah mendatangi perkumpulan masyarakat Indonesia melalui ibadah. Dan saat kebijakan lock down, warga yang boleh berkumpul hanya di gereja, dan mungkin di tempat ibadah lain, dengan prokes ketat,” ujar Freddy memaparkan.

“Melalui beberapa observasi seperti itu, saya ketemu dengan orang-orang yang sudah sejak tahun 1968 tinggal di Belanda, tapi masih menjadi warga negara Indonesia. Dia tinggal di rumah sendiri. Dan dia bercerita kepada saya dengan nada bangga dengan keindonesiaannya. Lalu saya juga bertemu seorang tante, jemaat KKI di Heerlen, sambil setengah berteriak, dia menghampiri saya dan berkata, ‘Pak saya ini masih warga Indonesia loh’, dengan nada bangga. Kaget juga saya dibuatnya,” ucapnya.
Dalam setiap kesempatan, Freddy menekankan kepada mereka yang sudah menjadi warga negara Belanda, bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia juga. Jadi rumah kita adalah KBRI Den Haag, bukan hanya untuk WNI, tapi juga rumah bagi semua orang (keturunan) Indonesia,” kata Freddy.

Keunikan lain yang dijumpai Freddy Panggabean adalah soal alat musik. Saat mengunjungi beberapa gereja katolik di salah satu kota di Belanda, ia melihat ada tarian tradisional Indonesia diiringi alat musik. “Jadi pada waktu pembukaan sebelum ibadah atau pada saat penutupan, ada tarian lengkap dengan baju daerah. Bahkan ada yang pasturnya pada saat ibadah piawai memainkan musik keroncong. Uniknya, kegiatan bermusik yang jarang kita temukan saat acara atau event kumpulan warga Indonesia, malah ketemunya di acara gereja,” jelasnya.
Begitu juga dengan masakan. Ia menemukan berbagai jenis makanan khas Manado dengan rasa yang paling otentik. Saking khasnya, ia bahkan tidak pernah menjumpai rasa masakan seperti itu di restoran di Jakarta atau Belanda sekalipun.

Di masa pandemi, bagi Freddy, peran gereja menjadi penting karena saling memperhatikan, terhubung satu sama lain, dan saling mendoakan kalau ada yang sakit. Setiap minggu, Freddy selalu mengajak istri dan anaknya ke gereja. Di situ ia tidak saja hadir untuk menyampaikan pesan kepada jemaat, tapi juga menyumbang lagu pujian bersama sang istri. Maklum, darah Batak yang mengalir di tubuhnya membawa bakat suara merdu saat memuji Tuhan.
Freddy menjelaskan bahwa kedatangannya ke berbagai gereja tidak saja menyampaikan pesan kebangsaan, tapi juga menyelipkan pesan rohani. Yaitu, kalau dulu kita atau Indonesia diinjili oleh misionaris asal Belanda, tapi sekarang kedatangan kita ke Belanda sebagai orang kristen memberkati bangsa Belanda. Antara lain, memberi perubahan terhadap kehidupan berjemaat atau bergereja.
Contoh, gereja lokal yang mayoritas orang Belanda, kalau ada dua atau tiga orang Indonesianya, pasti menjadi berubah dengan adanya makanan dan pelayan-pelayan gereja yang umumnya dilakukan perempuan Indonesia (yang menikah dengan pria Belanda, -Red). Lambat laun, anak dan suaminya jadi semangat untuk ke gereja, bahkan ikut terlibat dalam kegiatan gereja. Jadi secara tak langsung membuat perubahan.
Editor: Tian Arief