Mengenai permintaan maaf Belanda terhadap Indonesia, kata Hassan, sudah tiga kali permintaan maaf dilakukan.
Pertama, oleh Menlu Ben Bot dalam kunjungannya ke Indonesia 15-17 Agustus 2005. Atas nama Pemerintah Belanda Bot menyatakan “for moral and political reason we recognize Indonesia’s independence as of 17 Agustus 1945” dan meminta maaf atas jatuhnya korban yang besar dari pihak Indonesia. Apa yang tidak disebut disitu? Tidak ada hukum, tetapi mengapa? Karena kalau secara hukum Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dimulai sejak 17 Agustus maka, konsekuensinya Belanda bertanggung jawab hukum atas segala hal yang terjadi dengan agresi militer Belanda.
Permintaan maaf yang kedua, oleh Raja Willem Alexander, pada kunjungannya ke Indonesia 10 Maret 2020, tanpa menyebut alasannya. “Saya kira atas nama kemanusiaan,” kata Hassan.
Permintaan maaf yang ketiga, oleh PM Rutte minggu lalu, khusus terhadap terjadinya extreme violence yang dilakukan oleh pihak Belanda. Jadi permintaan maaf itu semua bersifat sepotong-sepotong, incremental dan tidak menjawab keseluruhan bencana yang diakibatkan oleh penjajahan atau kolonisasi Belanda selama 350 tahun di bumi Nusantara.
“Mungkin Belanda bisa belajar dari pengalaman Jerman menyelesaikan masalah yang tersisa dari masa penjajahannya terhadap Namibia pada Mei 2021 yaitu penyelesaian yang komprehensif, mendasar, bukan sepotong-sepotong. Jerman meminta maaf, disertai ganti rugi sebesar 1,34 miliar dollar dan pengembalian harta rampasan oleh Jerman,” kata Hassan.
Penyelesaian ini merupakan kompromi terhadap adanya gugatan “class action” oleh rakyat Namibia di Pengadilan Amerika, dengan ganti rugi US$ 4 miliar atas terjadinya genosida, yang terjadi antara 1904 dan 1908 yang mengakibatkan 80 persen suku Ovaherero dan 40 persen suku Nama lenyap. Pengadilan di luar “locus delicti” dalam teori dan dan praktek sekarang dimungkinkan dibawah doktrin “universal jurisdiction”.
Pengadilan Belanda sendiri mempraktekkannya dengan menerima gugatan terhadap Presiden Yudhoyono yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Gugatan yang disidangkan pada hari ketibaan kunjungan kenegaraan itulah yang menjadi alasan pembatalan mendadak kunjungan Presiden pada 5 Oktober 2010.
Gagal mengugat Presiden RI, pada tahun berikutnya Menlu RI, yang ketika itu dijabat Hassan, digugat dengan tuduhan yang sama. “Saya mempunyai alasan hukum yang sangat kuat, berdasarkan preseden kasus di Mahkamah Internasional tentang hal yang sebanding. Untuk menghadapi gugatan itu dengan sengaja saya berkunjung ke Belanda dan tiba pada hari sidang pertama gugatan itu. Dan saya tidak menerima panggilan dari Pengadilan,” kata Hassan.
Berbicara ganti rugi, masalah ini memang tidak pernah diagendakan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1950. Indonesia adalah satu-satunya negara yang dijajah yang tidak menuntut ganti rugi, tetapi sebaliknya, membayar kompensasi atau ganti rugi kepada penjajahnya.
Berdasarkan perjanjian Den Haag yang dihasilkan oleh Konferensi Meja Bundar, Indonesia diwajibkan membayar 4,3 miliar gulden kepada Belanda dan separuhnya adalah biaya yang dikeluarkan Belanda untuk operasi militer di Indonesia, termasuk “extreme violence” yang direstui pemerintah.
Pertanyaannya, mengapa Tim Riset tidak membahas masalah dalam agenda dekolonisasi mereka. Sebagai bangsa yang sangat legalistis semestinya Tim juga membahas, apakah pembayaran ganti rugi atau jumlahnya itu legal atau ilegal?
Pembayaran ganti rugi atau teori suksesi (pergantian negara) dalam teori dan praktek adalah suatu hal biasa, seperti biaya pembangunan jalan, kereta api dan infrastruktur lainnya, bendungan dan gedung-gedung pemerintah.
“Yang luar biasa adalah biaya operasi militer (untuk memerangi Indonesia) ternyata dimasukkan sebagai elemen ganti rugi. Itu ilegal dan saya temukan dalam riset thesis saya di Fletcher Scholl pada 1984, mengacu pada putusan Arbitrase Internasional 1914, terhadap sengketa antara Swedia dan Finlandia mengenai Aaland Island. Pembimbing thesis saya Prof Leo Gross membenarkan temuan dan argumen saya – walaupun belakangan beliau mengaku bahwa beliau lah penasehat hukum Menlu Belanda, van Kleffens, dalam sengketa antara Belanda dengan Indonesia. What a coincidence!” kata lulusan Master of Arts in Law and Diplomacy (MALD) dari the Fletcher School of Law and Diplomacy tersebut.
Perjanjian KMB dibatalkan oleh Presiden Sukarno pada Agustus 1950, akibatnya secara hukum menghapuskan kewajiban pembayaran kompensasi atau ganti rugi.
“Celakanya, “utang” itu dibayar oleh Pemerintah Orde Baru, yang dulu sibuk berutang. Konteksnya, ketua kelompok negara pemberi hutang (IGGI) adalah Jan Pronk, Menteri Kejasama Pembangunan Belanda yang seringkali berulah seperti Gubernur Jenderal di negara yang yang sudah merdeka,” kata Hassan.
“Jadi kalau kita pandai berhitung, berbicara tentang ganti-mengganti kerugian, kita rugi besar. Kita bayar kepada Belanda sebesar 4,3 miliar gulden, yang separohnya ilegal,” kata Hassan.
“Ilegal karena separoh dari 4,3 miliar gulden itu adalah biaya perang, itu yang tidak boleh. Itu yang ilegal.
Hasil riset saya pada tahun 1984 dalam kasus sengketa Swedia dan Finlandia pada 1914, ruling pada pengadilan arbitrase mengatakan biaya-biaya perang, untuk menghadapi lawan, tidak boleh dihitung sebagai ganti rugi,” papar Hassan.
“Karena separuh dari 4,3 miliar gulden itu adalah biaya perang Belanda. Dari situ digunakan untuk membayar pensiunan pegawai negeri NICA, pegawai Belanda. Di kita saja pensiunan kita tidak dapat sebanyak itu. Itu yang tidak adil,” kata Hassan.
“Sudah dibatalkan oleh Presiden Soekarno, karena kita tergantung pada utang, tapi rezim Orde Baru membayar itu. Tapi kita juga harus ingat dalam sistem hukum, membayar sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya, kita salah bayar, mestinya yang nerima punya kewajiban moral, paling sedikit, untuk mengembalikan,” kata Hassan.
Sebaliknya Belanda membayar kepada sejumlah kecil keluarga korban keganasan Westerling dan peristiwa Rawagede hanya dalam hitungan ribuan dollar.
Menurut Hassan, kesalahannya karena para korban keganasan Westerling dan peristiwa Rawagede menggugat lewat Pengadilan Belanda, tidak seperti rakyat Namibia yang menggugat Jerman di Pengadilan Amerika Serikat.
“Karena digugat di Pengadilan Belanda, kompensasinya kecil, dibandingkan 4,3 miliar gulden dengan ribuan dolar. Mereka masih untung banyak,” kata Hassan.
Karenanya, Hassan menegaskan, apabila Belanda tulus membuat perhitungan sebagai bagian “how to deal with their own baggage of history, buatlah perhitungan yang komprehensif untuk seluruh masa 350 tahun, bukan hanya untuk penggalan waktu lima tahun, meliputi kerugian materiil yang demikian besar sejak masa VOC 1602, meliputi masalah kolonisasi (conquest), rasisme, perbudakan –yang merupakan bagian tak terpisahkan menurut Hugo Grotius.
Seperti Jerman, buatlah perhitungan kerugian akibat sejumlah besar perang yang terjadi selama masa kolonialisme Belanda. Jangan lagi mengklaim bahwa Belanda adalah “benevolent colonialist” atau kolonialis yang baik hati.
“Belanda tidak bisa mengklaim dirinya sebagai benevolent colonialist, kalau dilihat dari sejarah, ideologi penjajahan Belanda itu satu menduduki atau conquer, kedua, slavery, dan berdagang budak. Hampir 600 ribu VOC memperdagangkan budak-budak dari Afrika termasuk dari Indonesia. Rasisme melekat dalam kolonialisme Belanda. Tidak saja Belanda, sejak 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Tor de Silas yang komponennya sama. Mereka tahu, tapi pura-pura tidak tahu,” kata Hassan.
Menurut Hassan, jika ingin tuntas, permintaan maaf dan penyelesaiaannya hendaknya tidak dilakukan sepotong-sepotong (partial, incremental) tetapi komprehensif seperti yang dilakukan Jerman baru-baru ini.
“Hanya dengan demikian Strategic Partnership Indonesia-Belanda dapat berjalan mulus tanpa gejolak musiman seperti yang dihadapi sekarang ini,” tegasnya.