Kabarbelanda.com – Mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda menilai permohonan maaf pemerintah Belanda atas kekejaman selama masa penjajahan di Indonesia tidak tulus dan hanya sepotong-sepotong. Menurutnya, Belanda harus belajar dari Jerman.
“Apabila Belanda tulus membuat perhitungan sebagai bagian “how to deal with their own baggage of history, buatlah perhitungan yang komprehensif untuk seluruh masa 350 tahun, bukan hanya untuk penggalan waktu lima tahun, meliputi kerugian materiil yang demikian besar sejak masa VOC 1602, meliputi masalah kolonisasi (conquest), rasisme, perbudakan –yang merupakan bagian tak terpisahkan menurut Hugo Grotius,” kata Hassan dalam Webinar Hubungan Indonesia-Belanda 1945-1950, bertema “Menilik Kembali Hubungan Indonesia-belanda 1945-1950, yang digelar Pusat Studi Kebangsaan, Universitas Prasetya Mulia, dan Forum Diplomasi Indonesia, Selasa (22/2).
“Seperti Jerman, buatlah perhitungan kerugian akibat sejumlah besar perang yang terjadi selama masa kolonialisme Belanda. Jangan lagi mengklaim bahwa Belanda adalah “benevolent colonialist”. Kalau mau tuntas, permintaan maaf dan penyelesaiaannya hendaknya tidak dilakukan sepotong-sepotong (partial, incremental) tetapi komprehensif seperti yang dilakukan Jerman baru-baru ini. Hanya dengan demikian Strategic Partnership Indonesia-Belanda dapat berjalan mulus tanpa gejolak musiman seperti yang dihadapi sekarang ini,” tegas Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 tersebut.
Hassan menilai sejarah adalah elemen yang penting bagi pengembangan semangat kebangsaan. Sejarah seperti kaca spion, dengan sekali-sekali kita menengok ke belakang dia memandu perjalanan kita ke depan. Karena itu, menurutnya, penting bagi Indonesia untuk memelihara narasi sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.
“Revisi atau reinterpretasi narasi sejarah oleh pihak, yang dulu kita bertikai harus kita tanggapi dengan kritis dan hati-hati,” kata anggota Dewan Penasihat Presiden RI 2009-2014 tersebut.
Menurutnya, apa yang dilakukan Belanda untuk meneliti kembali sejarah adalah urusan mereka sendiri, suatu proses “soul searching”, rekonsiliasasi dalam dirinya sendiri tentang “Belanda punya jiwa”, dan bagaimana “how to deal with their past historical baggage”.
“Dan Belanda bukan suatu pengecualian karena proses itu juga kini dilakukan oleh negara-negara Eropa lain seperti Jerman, Perancis dan Belgia,” kata pemrakarsa pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) 1989-1993 tersebut.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia, periode 1945-1950, menurut Hassan, terlalu besar dan kaya dengan ide-ide, gagasan besar tentang tatanan nasional (national order) tentang hak merdeka, perkemanusiaan, demokrasi, kesejateraan rakyat dan keadilan sosial yang harus dibangun di seberang jembatan emas Proklamasi Kemerdekaan.
Bangsa Indonesia juga punya konsep tentang tatanan dunia (international order) yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang harus terus diperjuangkan. Tatanan dunia yang demikian, sejak Perang Dunia Kedua berakhir 78 tahun yang lalu belum lah ada.
“Karena itu terhadap proses “soul searching”, mencari jati diri kebelandaan mereka dan apapun hasil temuan penelitian mereka, tidak boleh men-distract kita. Apalagi, we are on a good track, sebab pada peringatan 100 tahun Proklamasi Kemerdekaan– yang 70 tahun yang lalu ditolak, bahkan diperangi oleh Belanda–dengan modal dasar konsep-konsep besar yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, kita diproyeksikan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia,” kata Hassan.
Menurut Hassan, dalam proses “soul searching” terutama guna menjawab pertanyaan “how to deal with their baggage of history” itulah, di Negeri Belanda, sejak 2017 diadakan penelitian sejarah tentang hubungannya dengan Indonesia, periode 1945-1950. Penelitian dilakukan oleh Tim Independen, yang didanai oleh Pemerintah Belanda sebesar Euro 4,1 juta, atau sekitar Rp 67 miliar rupiah.
“Memperhatikan agenda dan pilihan waktu objek bahasan, dengan pengeluaran sebesar itu bukan tidak mungkin penelitian dibatasi oleh Terms of Reference (TOR) yang membuat Tim Peneliti kurang independen,” kata Doctor of Juridical Science dalam hukum internasional dari University of Virginia School of Law tersebut.
Pertama, pembatasan mengapa penelitian yang berjudul dekolonisasi dibatasi hanya pada periode 1945-50? Berbicara tentang de-kolonisasi dalam lingkup waktu yang terbatas itu berarti mngingkari kolonisasi Belanda selama 350 sejak VOC mendarat di bumi Nusantara pada tahun 1602. Mengingkari kolonisasi yang panjang berarti mengingkari tanggung jawab moral, politik dan hukum atas tindakan mereka sebagai colonial power.

Kedua, terhadap obsesi penelitian tentang extreme violence, yang dilakukan oleh tantara Belanda, jujur mereka akui bahwa dengan diberlakukannya keadaan darurat, administrasi sipil oleh NICA tidak berfungsi. Semuanya dikontrol oleh militer, tanpa kontrol siapapun, termasuk oleh judiciary, Dengan direstui (di-condone) oleh Pusat di Belanda, extreme violence menjurus pada impunity, dan semakin membesar. Hal ini melemahkan argumen lama, bahwa serbuan bersenjata pada 1947 dan 1948 bukanlah aksi polisional. Sejatinya memang agresi militer.
Penelitian juga menyebut apa yang terjadi di Indonesia pada periode 1945-1950 adalah perang (war), bukan “armed conflict”, karena perang (war) adalah penggunaan kekuatan senjata –use of force-antara dua negara yang bertikai.
“Jadi bukan hanya serbuan militer pada 1947 dan 1948 itu merupakan “agresi militer”. Serbuan militer dengan penggelaran serdadu dalam jumlah besar dengan persenjataan modern danpada tahun 1945 adalah “the mother of all aggression” yang melahirkan agresi-agresi militer berikutnya pada 1947 dan 1948,” tegas Hassan.
Ketiga, soal legalitas perang yang dilancarkan Belanda terhadap Indonesia. Dalam wawancara setelah presentasi ada wartawan yang bertanya, “Was the war (that the Dutch) committed in Indonesia ilegal?”. Dengan ketus anggota Tim Peneliti mengenyampingkan pertanyaan itu, “it is irrelevant”. Apakah masalah legalitas perang yang dilancarkan Belanda tidak penting atau karena TOR penelitian memang membatasi untuk tidak meneliti isu itu?
Tidak heran kalau hasil penelitian menyamakan tanggung jawab negara aggressor, dengan Indonesia yang melakukan “self defense”. Apapun alasannya tindakan agresi adalah illegal, dan self defense (membela diri) diperbolehkan. Belanda adalah negara yang menjadi anggota PBB sejak awalnya, pada 1945. Menurut Piagam PBB bahwa perang atau the use of force dilarang, forbidden, kecuali-kecuali–untuk self defense.
Berkaitan dengan legalitas, apa pula dasar hukum bagi Belanda menduduki kembali bekas jajahannya? Apakah dengan Jepang menyerah kepada sekutu, lalu Sekutu memberikakan hak kepada Belanda untuk menduduki kembali dengan menggunakan kekuatan senjata?
Pada pihak lain, Piagam PBB memuat “prinsip penentuan nasib sendiri” (principle of self determination”? Berdasarkan right to self determination itulah para pendiri bangsa memutuskan, melalui Proklamasi, membentuk Negara Indonesia, dengan segalan kelengkapannya sebagai negara merdeka wilayah, rakyat dan pemerintah. Kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah juga sudah dijanjikan dalam pertemuan Presiden Amerika Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, pada tahun 1941, yang dikenal dengan Atlantic Charter.
Karena itu tanpa perang Amerika memerdekakan Filipina dan tanpa perang juga Inggeris memerdekakan Burma dan India (termasuk Pakistan). “Ini mungkin yang dimaksud oleh sahabat saya Menlu Bernard Bot sebagai Belanda “was on the wrong side of history” – dengan segala malapetaka yang diakibatkannya,” kata Hassan.
Keempat, ada hal-hal yang Indonesia dapat hargai dari penelitian tersebut terutama pengakuan yang jujur bahwa tindak kekerasan (extreme violence) yang dilakukan oleh tentara Belanda dilakukan secara sistematis, berskala besar dan di “condone” oleh Pemerintah Belanda, politisi, dan masyarakat Belanda.
Mengapa segala tindakan seperti torture, penahanan, penghilangan nyawa, pemboman kampung dengan senjata artileri besar dan impunity, yang dilakukan secara sistematik tidak dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM.
“Saya duga sengaja dihindari, karena gross violations of human rights yang dilakukan secara “sistematik, berskala luas dan dengan korban yang besar disebut sebagai kejahatan kemanusiaan “crimes against humanity” – yang tidak ada kedaluarsanya. Dan bahwa dengan penggelaran pasukan yang besar dengan persenjatan modern tantara Belanda penelitian jujur mengakui bahwa Belanda tidak berhasil mengalahkan Republik baik di front perjuangan fisik dan diplomasi,” kata Hassan.
Karenanya, menurut Hasan, banyak hal dari proses dan hasil penelitian itu yang perlu dikritisi.
