Jadi Tunawisma, Rakyat Belanda Bakal Gelar Demo Besar-besaran

Penulis: Dian Suwarsaputri

Kabarbelanda.com, Hilversum – Di Belanda, untuk mendapatkan rumah tinggal, baik beli maupun sewa, susahnya minta ampun. Jadinya banyak warga Belanda terpaksa tetap ngekost, meski sudah tidak kuliah lagi, menumpang tinggal di rumah teman atau saudara, dan jadi tunawisma kendati memiliki pendapatan tetap.

“Lebih dari enam bulan saya menunggu kesempatan mendapatkan rumah sosial yang ada lift-nya. Itu lama sekali buat saya. Padahal saya termasuk golongan yang sangat urgensi (mendesak) harus dapat tempat tinggal layak sesuai situasi saya,” kata ibu Bosman, seorang warga Belanda yang terkena dampak krisis rumah tinggal, kepada Kabarbelanda.com, belum lama ini, di Hilversum Belanda.

Perempuan berusia 56 tahun itu sebelumnya tinggal di apartemen lantai tiga yang tidak memiliki fasilitas lift. Setelah bercerai dengan suaminya empat tahun lalu, penyakit otot yang diderita ibu Bosman semakin menjadi. Dia tidak sanggup lagi naik-turun tangga. Karena itu, dia sangat membutuhkan rumah sosial yang terletak di lantai bawah, atau yang mempunyai fasilitas lift.

“Sekarang saya tidak perlu menahan sakit di badan saat naik tangga untuk masuk ke rumah karena sudah ada lift,” ucap ibu Bosman, yang akhirnya mendapatkan tempat tinggal layak yang dibutuhkannya, sambil tersenyum. Ibu Bosman bisa dibilang termasuk beruntung. Banyak orang Belanda lainnya yang saat ini harus berjuang dengan menunggu bertahun-tahun menunggu untuk mendapat rumah sosial.

Tipe rumah sewa sosial di Belanda. Kiri: tipe rumah biasa. Kanan: tipe rumah sewa apartemen (rumah tingkat). (Dian Suwarsaputri)

Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan berupa pemberian tunjangan sewa kontrak rumah untuk rakyat kecil. Mereka juga mendapatkan rumah sosial layak huni, sesuai dengan situasi mereka. Untuk mendapat rumah sosial dan tunjangan sewa kontrak rumah, mereka harus mendaftarkan diri sebagai pencari rumah sosial di kotapraja (kantor pemerintah kota) mereka masing-masing, dan pendapatan mereka di bawah EUR 3000 (sekitar Rp 56 juta) bruto per bulan.

Bagi mereka yang pendapatannya lebih dari Rp 56 juta per bulan, bisa membeli rumah atau menyewa rumah di sektor bebas tanpa bantuan pemerintah. Untuk membeli rumah sendiri, biasanya pendapatan mereka kurang untuk mendapatkan hipotik yang cukup untuk membeli rumah impian mereka.

Selain itu, di Belanda saat ini terjadi defisit rumah, dimana jumlah orang yang membutuhkan rumah, baik rumah sewa atau beli, lebih banyak daripada jumlah rumah yang tersedia. Oleh karena itu, harga jual rumah dan harga sewa rumah di sektor bebas melonjak tinggi. Akibatnya semakin banyak yang tidak memiliki rumah alias tunawisma, dan waktu tunggu mendapat rumah sosial semakin lama.

Di kota Amsterdam, contohnya. Waktu tunggu mendapat rumah sosial saat ini rata-rata 15 tahun. Semua ini disebabkan lalainya pemerintah Belanda mendukung pembangunan perumahan. Ini dimulai saat terjadinya krisis keuangan tahun 2008. Saat itu proyek-proyek pembangunan banyak yang dihentikan, diikuti pembubaran Kementrian Perumahan Rakyat tahun 2010. Pemerintah memandang kementrian ini sudah tidak diperlukan lagi, karena masalah perumahan rakyat dianggap sudah teratasi.

Pada 2013, koperasi perumahan yang menyewakan rumah sosial diwajibkan membayar pajak untuk setiap rumah sosial yang disewakan. Akibatnya, koperasi-koperasi perumahan banyak kehilangan pemasukan dan tidak punya dana untuk membangun perumahan-perumahan baru. 

Pengembang wajib sisihkan keuntungan untuk rumah sosial

Pemerintah kotapraja Wijdemeren melarang pendirian bangunan di lahan kosong ini, demi keamanan jalur keberangkatan pesawat lokal dan pesawat hobi. (Dian Suwarsaputri)

Perumahan-perumahan rakyat dibangun oleh koperasi perumahan sebagai pengembang perumahan, dengan izin gemeente (kotapraja). Pada umumnya koperasi perumahan diizinkan membangun dengan syarat sepertiga dari jumlah perumahan yang dibangun dalam satu proyek harus ditujukan untuk sektor perumahan sosial. Ini artinya, mereka harus rela menyisihkan keuntungan dari pembangunan proyek rumah mahal untuk mendukung perumahan bagi rakyat kecil.

Perumahan sosial ini bisa berupa rumah jual sosial atau rumah sewa sosial. Rumah jual sosial adalah rumah yang harganya sekitar Eur 220.000 (sekitar Rp 3,7 milyar) yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebanyakan koperasi perumahan ini memilih untuk membangun rumah jual sosial, karena untuk rumah sewa sosial, mereka harus membayar pajak.

Waktu tunggu makin lama

Sebuah proyek pembangunan perumahan, untuk sektor rumah beli dan sektor perumahan sosial. (Dian Suwarsaputri)

Selain semakin sedikit rumah sewa sosial yang dibangun, Belanda juga mengenal sistem urgensi. Sistem ini ditujukan untuk membantu orang yang benar-benar berada dalam situasi sangat mendesak untuk mendapatkan rumah sosial, seperti dialami ibu Bosman.

Comments are closed.